Aku beranikan
diri menyalakan lampu kamar yang ada di samping kanan tempat tidurku, ketika
lampu menyala dengan redup, ternyata sosok itu adalah suamiku sendiri. Dia
mencoba mendekatiku dan apa yang terjadi? Dia mencekik leherku dengan keras,
hingga aku sulit untuk bernafas, entah syetan apa yang telah merasuki suamiku.
Aku mencoba melarikan diri dari kamarku, dengan menendang bagian vital suamiku,
hingga dia merasa kesakitan dan melepaskan tanganya.
Aku lari
sekuat tenaga, mencoba membuka pintu kamar, hingga aku bisa keluar dari rumah.
Kesedihanku memuncak saat ada wanita berdiri di depan pintu rumahku, penampilan
yang tak patut ditiru, dan aku menyebut dia tak berpakaian. Aku penasaran
dengan wanita itu, ku dekati dia dengan genangan air mata yang masih terus
mengalir sederas lautan.
“kamu siapa?”
“kamu tidak
perlu tahu aku siapa, mana mas Hendri?”
Hendri itu
suamiku, entah siapa perempuan ini, dia datang bersama suamiku ataukah datang
sendiri, tidak lama kemudian. Suamiku muncul, serasa jantungku lepas. Dia
membawa pisau yang dia ambil dari dapur, aku paham betul pisau itu. Karena
pisau kesayanganku yang biasa aku pakai saat memasak di dapur.
“apa yang akan
kamu lakukan mas? Sadar mas sadar!! Ini istrimu mas, istrimu!, apa kamu buta
dan tidak melihat?”
“masa bodo,
sebentar lagi kamu bukan lagi istriku, aku sudah siap dengan penggantimu”
Mas Hendri memandang
wanita yang tadi ku temui, ternyata wanita itu adalah simpannya selama ini.
“mas, apa kamu
buta mas. Selama ini aku bersabar, setahun sudah kamu tidak pernah menyentuhku,
hingga sampai saat ini kita belum punya anak. Uang dari jerih payahku kamu
rampas begitu saja, hanya untuk wanita murahan ini?”
“heh, apa kamu
bilang? Aku wanita murahan? Kamu yang murahan, penampilan nora dan pantas saja
suamimu tak sekalipun menyentuhmu. Lihat saja diri kamu, menjijihkan”
Serasa disambar
petir berkali-kali, sakit, dan benar-benar kata-katanya menyakitkan. Tidak
pikir panjang, aku langsung lari meninggalkan mereka berdua, entah kemana
tujuanku. Dan aku putuskan untuk pergi kerumah ibuku, tidak jauh dari rumahku,
sekitar 4KM dari rumah. Perjalanan malam yang menyedihkan, aku lewati berbagai
rintangan di jalan. Mulai dari godaan pria-pria kurang kerjaan, hampir di
tangkap satpol PP yang berjaga malam dikira aku PSK (pekerja seks komersial), jatuh
di jalan, sandalku lepas dan aku lihat makhluk halus di makam samping rumah
ibuku. Tragis nian malam ini, aku menangis berhari-hari di rumah ibu, tanpa
sedikitpun menceritakan kepada ibu. Aku mengurung diri di kamar selama lima hari,
tidak makan, tidak minum dan tidak pula mandi. Bisa dibayangkan bagaimana
keadaanku.
“nak, keluar
nak. Sudah lima hari kamu mengurung diri di kamar. Ada masalah apa, cerita sama
ibu sayang!”
Mungkin hanya
suara isakan tangisku yang ibu dengar, terdengar ibu ikut menangis. Mungkin
merasa gelisah dengan keadaanku selama ini. Tidak kuasa mendengar tangisan ibu.
Aku buka pintu dan ku peluk erat tubuh
ibu.
“maafkan aku
bu, membuatmu khawatir,. Aku ada masalah dengan suamiku bu,”
“kenapa dengan
suamimu sayang?”
“dia..
dia..punya simpanan bu”
Dengan isakan
tangis yang mendalam, dan penuh dengan derita. Seakan malam berganti pagi
menjelma pangeran mentari menyambut hari bahagiaku.
Aku ceritakan
semua kejadian yang aku alami, ibu hanya menghela nafas menyaksikan seorang anak
kesayangannya menangis tak tertahankan. Memelukku penuh kehangatan. Dan aku tak
ingin melepaskan, aku rindu pelukan ibu. Yang selalu menenangkan, menghangatkan
dan membahagiakan.
5 bulan
kemudian...
Hari-hariku
sudah seperti biasa sendiri tanpa suami, menemani ibu jualan kue lapis
keliling. Penghasilan tidak terlalu besar, alhamdulilah
toko sembako di pasar sudah lebih besar. Bapa yang mengurus, sampai bekerja
keras dan merelakan tidak bertemu keluarga. Hingga hasilnya pun sebanding
dengan kerja keras. Tidak ada usaha yang sia-sia, semua akan terbalaskan dengan
hasil yang memuaskan.
Saat mentari
mulai meninggalkan sinarnya, ku pandangi langit dan ku dekapkan tubuh ini
seorang diri, lima bulan lamanya aku bertahan. Dan hidupku lebih tenang, tidak
terpikirkan oleh suamiku lagi. Sekarang dia sudah bahagia dengan wanita lain
pilihannya, walau aku belum resmi dicerai. Sebuah masalah besar, namun aku
hadapi semua ini dengan ketabahan dan dengan dukungan ibu, bapaku untuk selalu
ikhlas dengan segala cobaan.
“kriing...kring...”
Suara telpon
rumah ibu berbunyi, sedikit mengagetkan. Karena telpon rumah jarang berbunyi
selain bapa yang telpon.
“assalamu’alaikum, dengan siapa ini?”
“wa’alaikumsalam”
Terdengar suara
berat dan lemah, entah siapa yang menelpon,
“siapa ini? Ada
yang bisa aku bantu?”
“ini aku..”
Sejenak sunyi
sepi, tidak ada kata lain yang dia katakan, semakin penasaran dan cemas dengan
keadaan ini.
“aku Hendri,”
“mas Hendri??”
Entah bara apa
yang akan datang lagi kehidupanku, dia hadir lagi dikehidupanku. Namun aku
harus berpikir positif, mungkin dia membawa kabar gembira.
“iya, aku mau
minta maaf sama kamu. Aku bersalah menyia-nyiakan kamu selama ini, aku khilaf. Ijinkan
aku membawamu kembali kepelukanku!”
Ombak menyambar
kegelisahan selama ini, menerjang seluruh sakit hatiku selama ini. Tak bisa ku
terima dia begitu gampangnya mengatakan seperti itu.
“apa maksud
mas mengatakan seperti itu, kamu begitu gampangnya membuangku. Sekarang kamu
akan mengambilku lagi? Untuk apa lagi mas? Hanya untuk permainanmu saja? Aku tidak
akan sudi menerima tawaranmu lagi, aku benci kamu mas.!!”
Isakan tangis
mulai terdengar, ibu yang mendengar percakapan kami, dan mendengar ku menangis
langsung keluar dari kamarnya.
“ada apa
sayang? Kenapa kamu menangis, siapa yang menelpon?”
Tidak ada
jawaban dari mulutku, hanya air mata kepedihan menyelimutiku. Langsung ku tutup
telpon, dan ku peluk ibu. Hanya ibu yang bisa membuatku tenang.
“bu..mas
Hendri bu,”
“kenapa dengan
dia nak, dia ngapain kamu lagi,
sampai membuatmu menangis lagi. Tidak puas juga dia memperlakuan kamu selama
ini?”
“dia ingin
membawaku kembali bersamanya bu, dia tega bu. Setelah dia membuangku,
menganggapku tak ada disetiap tidurnya, menjadikanku sebagai pembantu di
rumahnya, dan sama sekali tidak pernah menyentuhkan justru menyentuh wanita
lain. Dan sekarang?”
Bulan mulai
menggantikan sinar mentari, semakin gelap diterangi gemerlapnya bintang malam. Tidak
ada senyum yang melekat di bibirku.
“ibu, kita ke
taman depan rumah yuk! Aku ingin menikmati malam bersamamu bu.”
“ayo nak, ibu
juga lama tidak keluar malam”
Dengan pakaian
muslim merah menempel di tubuhku, berjalan dengan penuh harapan. Ku duduk di
samping kanan ibu, kami berbincang-bincang, dan saling bercanda. Sembari memandangi
bintang yang tersenyum pada kami. Dan melupakan pembicaraan dengan mas Hendri.
Tidak lama
setelah itu, datang sosok yang tidak asing lagi. Dengan memakai sarung dan baju
koko putih yang dia pakai. Dia adalah mas Hendri, entah malaikat apa yang telah
merasukinya menjadi seperti ini.
“mas Hendri,
apa yang sedang kamu lakukan? “
“aku ingin
menemuimu, sekarang aku sadar. Aku sudah bertaubat sayang, tolong bukalah pintu
hatimu untuk bisa memaafkan aku dan menerimaku lagi menjadi suamimu lagi!”
Ibu yang masih
duduk di sampaing kananku, langsung berdiri dan mendekati mas Hendri,
pandangannya sudah membara, serasa syetan mulai mempengaruhi ibuku,
“apa kamu
sudah gila Hendri? Apa kamu tidak puas juga, anakku menderita gara-gara kamu,
tidak sedikitpun anakku bahagia bersamamu, aku tidak akan rela memaafkan kamu,
tidak akan!!”
“ibu, tolong
maafkan aku bu!!”
Tidak disangka,
mas Hendri bersujud di kaki ibuku, ibu pun menangis, dan terus menangis. Terlebih
aku, aku jatuhkan tubuh ini ke tanah dan aku bingung apa yang akan aku lakukan.
Aku berpikir mas Hendri sudah berubah, dia rela bersujud di kaki ibuku.
“sudah mas,
sudah. Aku sudah memaafkan kamu”
“apa kamu
bilang nak? Apa kamu termakan dengan omong kosong dia? Sadar nak sadar!”
“ibu.. tolong
maafkan mas Hendri bu, aku yakin dia sudah berubah.”
Ibu tidak
berani mengatakan apa-apa, dia pergi meninggalkan taman, dengan tetesan air
mata yang masih tertinggal. Ku dekati mas Hendri, ku berdirikan dia, dan dia
memelukku begitu saja. Tidak ada tanda-tanda kebohongan yang aku rasakan, aku
rasa memang mas Hendri sudah berubah.
“kembali
padaku ya sayang, aku butuh kamu. Maafkan aku ya sayang!”
“iya mas, aku
memaafkan kamu. Aku juga mau kembali lagi bersamamu.”
“tapi
bagaimana dengan ibu sayang?”
“nanti aku
yang bicara dengan ibu mas, semoga ibu mengizinkan aku kembali bersamamu mas,”
“makasih
sayang, aku menyesal menyia-nyiakan kamu”
“iya mas,
sekarang kamu pulang saja dulu. Besok aku kabari lagi mas,”
Mas Hendri
kembali kerumahnya dan aku menemui ibu dik kamarnya, aku tahu bagaimana
perasaan ibu, ketika melihat anaknya disakiti. Aku paham, dia hanya khawatir
aku akan dibuat sakit lagi sama mas Hendri.
“bu..maafkan
aku ya bu!”
“kamu tidak
salah nak, dia yang salah. Ibu tidak mau kamu kembali lagi dengannya. Ibu pikir
dia hanya menjebakmu saja, ibu yakin itu”
Suara ibu
keras sekali, tidak biasanya seperti ini. Mungkin amarahnya sudah memuncak. Aku
menghela nafas, tidak berani aku berkata kasar pada ibu.
“ibu, aku tahu
bu. Tapi aku masih menyayanginya bu. Aku yakin dia sudah benar-benar berubah. Dan
aku sudah memaafkannya dan aku mau kembali bersamanya.”
“apa kamu
bilang, kamu buta? Dia tidak tulus!!”
“aku yakin bu,
dia benar-benar tulus menyayangiku”
“terserah kamu
nak, ibu sudah memperingatkan kamu”
Dengan suara
yang lebih rendah ibu menyerahkan semua ke aku, sebuah hal yang tidak gampang
bagi seorang ibu merelakan anaknya pergi, terlebih pergi bersama orang yang
pernah menyakitinya.
Pagi yang
cerah, mengantarkanku kerumah mas Hendri, rumahnya masih utuh. Tidak ada
perubahan apapun. Ku buka pintu kamar, dan terlihat banyak bunga mawar yang
segar, tersebar di tempat tidur kami, begitu indah dan wangi.
“kamu yang
melakukan ini mas?”
“iya sayang,
semua ini untuk kamu”
“makasih mas,
aku kangen ibu mas. Tadi ibu aku pamitin dia tidak mau keluar kamar. Aku takut
ibu semakin terpukul dengan semua ini”
“sudahlah
sayang, nanti ibu akan sadar juga”
Nada bicara
mas Hendri mulai berubah, kemarin yang berubah halus dan penampilan yang alim,
sekarang sedikit berubah. Perubahan itu aku kenal, dia berubah seperti dulu. Tapi
aku buang pikiran burukku, itu hanya melemahkanku saja.
Malam ini aku
tidak sendiri, seraya bulan menemani
tidur indahku bersama mas Hendri. Selama ini, baru dia menyentuhku dan
aku merasa bahagia.
Berjalannya waktu
sudah hampir 7 tahun lamanya, kami dikaruniai 3 orang putra. Mungkin semua orang
akan berpikir, tiga putra itu bukti cinta dan sayang kami. Tapi tidak
sebenarnya, selama aku pindah dari rumah ibuku, aku tidaklah bahagia. Dia hanya
memanfaatkan aku untuk bisa mengandung anaknya, dan dia melakukan aku seperti
binatang. Di atas tempat tidur penuh dengan bunga, namun didalamnya penuh duri.
Hingga saat malam, dia menyiksaku. Dia menyentuhku seperti binatang. Sakit rasanya
dengan perlakuannya. Aku salah menilainya, ingin aku kembali kepangkuan ibu,
namun aku malu. Dulu aku tidak memperdulikan perkataannya.
Biarlah aku
menanggung semua ini, isakan tangis ini selalu membasahi. Tidak ada keringnya
kelopak mataku. Anak-anakku dibesarkan dari rahimku, tapi mas Hendri tidak
pernah menunjukan kalau aku ibu dari mereka.
“mas, mau
sampai kapan kamu menyembunyikan ini semua? Aku ini ibunya mas, apa kamu tega
membiarkan anak kita hidup tanpa kasih sayang ibu?”
“biarlah, aku
tidak akan pernah sudi mengenalkan anak-anakku dengan kamu”
Setiap lahirnya
anak-anakku, selalu mas Hendri bawa di rumah ibunya, entah susu apa yang telah
anakku minum. Kasihan anak-anakku. Dibalik semua ini, ada tujuan yang ingin mas
Hendri capai. Yakni menguasai harta orang tuanya, karena ibunya menginginkan
cucu darinya, dan itu menjadi syarat untuk bisa menguasai harta ibu, bapanya.
Sebuah hal
yang menyakitkan, aku dipermainkan lagi selama ini, hati ini semakin rapuh. Tidak
ada hal yang ingin aku lakukan selain menangis dan menangis. Bisa dibayangkan,
penderitaanku memuncak, hati ini serasa hancur lebur. Aku melahirkan tiga anak,
namun tidak ada satupun yang bisa ku peluk, dan dibiarkan tidak tahu siapa ibu
kandungnya.
Ketika mas
Hendri pulang dari kerjanya, dia masuk rumah bersama wanita lain. Yang jelas
lebih muda dan cantik dari aku, aku langsung menangis dan terisak melihat mereka berdua. Sebuah ujian besar yang
menimpaku, aku harus ikhlas dengan cobaan ini. Namun rasanya sudah tidak kuat
lagi dengan penderitaanku ini.
“mas, siapa
ini? Apa maksud kamu membawa perempuan ini?”
“kamu tidak
perlu ikut campur, diam dan masuk ke kamar!!”
Dengan nada
tinggi, dia membentakku, tidak kaget dengan nada kasar dan tingginya mas Hendri,
aku sudah terbiasa dengan perlakukan ini.
“tidak akan
mas, aku tidak rela wanita ini masuk kerumah kita mas, tidak.”
“heh, kamu. Siapa
kamu? Beraninya ngomong seperti itu,
apa kamu tidak malu dengan wanita seksi ini? Dia lebih dari segalanya.”
Aku tidak
menyerah begitu saja, aku masih berdiri depan mereka berdua. Dan ku pandangi
mas Hendri dengan pandangan amarah. Tidak ku sangka mas Hendri mendorongku
hingga ku terjatuh menabrak tembok kamarku, yang bangunannya masih kokoh. Sakit
tubuh ini, namun lebih sakit hati ini. Aku berdiri dan aku tampar mas Hendri,
amarahku sudah memuncak. Dia tidak mau kalah dia memukulku berkali-kali dengan
tas kantorny, hingga tubuhku semakin lemah. Wanita itu hanya tersenyum diatas
penderitaanku. Aku lempar wanita itu dengan sandal yang aku pakai. Dan mas
Hendri tidak terima itu, dia menamparku berkali-kali. Sampai aku tidak merasa
sakit, aku lari. Mencoba melindungi diri, mas Hendri mengejarku. Entah apa yang
membuatku berlari kegudang, mungkin tidak ada jalan lain.
Aku terjebak
digudang itu, gudang penuh dengan bahan material dan barang yang sudah tidak
dipakai. Mas Hendri terus mengejarku dan dia melepas kerudung yang ada
dikepalaku, dia menarik keras rambutku, hingga rontokan rambut menempel
ditangan mas Hedri. Begitu sakit aku rasakan air mata ini sebagai saksi bisu
keadaanku selama ini, dia yang selalu menemaniku disetiap keadaan.
“bunuh aku
mas, bunuh! Biar kamu puas!”
“tidak akan,
sebelum aku membunuhmu, aku akan menyiksamu terlebih dahulu, hahaha”
Dengan tawanya,
aku merasa syetan-syetan merasukiku dan aku berdiri tegak, langsung ku ambil
palu besar yang ada di sebelah kiriku, dan aku pukulkan berkali-kali di kepala
mas Hendri, dia sempat melawan, namun dia kalah dengan tingkahku yang
kesyetanan.
Darah mengalir
dari telinga mas Hendri, aku belum puas melihatnya masih bisa melototiku, aku
pukul lagi berkali-kali hingga kepala mas Hendri hancur dan berlumuran darah. Aku
baru sadar, ketika mas Hendri terjatuh lemah dan tidak bernafas, aku telah
membunuh suamiku sendiri. Disisi lain aku merasa puas, karena kemarahanku
selama ini telah terbayarkan dengan aku bisa mengahancukan kepalanya. Namun disisi
lain, aku merasa bersalah. Tidak sepantasnya aku melakukan semua ini.
“mas
Hendri...............”
Terdengar jeritan
dari wanita itu yang menyaksikan kejadian itu, dia langsung berlari dan
menghubungi polisi. Tidak lama kemudian, polisi mendatangi rumahku dan aku
ditangkap karena membunuh suamiku.
Aku lihat
ibuku datang dan tatapan matanya kosong, dia menangis histeris melihat aku
dibawa kekantor polisi. Dan aku sama sekali menyesal dengan kejadian ini.
“pak polisi,
izinkan aku bertemu ibuku sebentar”
“iya bu,
silahkan!”
“ibu.....”
Aku peluk ibu
dengan penuh penyesalan, aku menyesal dulu tidak mempercayai ibu.
“iya, sayang. Kamu
yang sabar yah, kamu harus menanggung semua ini.”
“iya bu,
maafkan aku bu, aku pernah membangkang ibu. Aku lebih percaya ke mas Hendri
dibandingkan ibu”
“sudahlah nak,
ibu tetap sayang sama kamu, ibu yakin apa yang kamu lakukan berawal dari sebuah
penderitaan yang mendalam”
Baru berapa
kalimat yang ibu lontarkan, polisi sudah menarikku untuk cepat masuk kemobil
dan pergi ke kantor polisi.
“nak, ibu
selalu mendoakanmu”
Aku menangis
dan ibuku pun menangis, rasanya tidak tega melihat ibuku seorang diri dirumah,
sedangkan bapa sibuk dengan pekerjaannya, sampai lupa dengan keluarganya.
Dibukalah pintu
mobil, aku masuk dengan perlahan sembariku pandangi wajah ibuku tercinta. Wajah ibu menghilang
ketika mobil sudah berjalan dan tertutuplah jendala mobil.
Prosesi sidang
sudah dilakukan, dan aku ditetapkan 10 tahun dipenjara. Waktu yang tidak lama,
namun aku harus melewati semua ini dengan ikhlas, aku yakin Tuhan akan
membalaskan.
Sebuah hal
yang menyakitkan, namun dengan mengingat Tuhan kita akan lebih tenang
menghadapi segala cobaan hidup.
0 Komentar untuk "Karenamu Aku Membunuhmu"