Karenamu Aku Membunuhmu

Keheningan menyelimuti tidur malamku, setiap malam aku harus rela tidur seorang diri. Walau aku sudah punya suami. Setahun sudah pernikahan kami, belum juga dikaruniai anak. Aku yakin Tuhan mempunyai rencana besar. Aku harus berdiri tegak, setegak batu karang, diterjang air lautpun tetap kokoh. Tuhan sedang mengujiku sepertinya. Di sudut kamar terlihat ada sosok yang berdiri, entah siapa. Aku merasa takut dengan sosok itu, hitam tak terlihat wajahnya. Pakaiannya pun tak bisa aku kenali. Jalannya lemah dan tak berdaya.

Aku beranikan diri menyalakan lampu kamar yang ada di samping kanan tempat tidurku, ketika lampu menyala dengan redup, ternyata sosok itu adalah suamiku sendiri. Dia mencoba mendekatiku dan apa yang terjadi? Dia mencekik leherku dengan keras, hingga aku sulit untuk bernafas, entah syetan apa yang telah merasuki suamiku. Aku mencoba melarikan diri dari kamarku, dengan menendang bagian vital suamiku, hingga dia merasa kesakitan dan melepaskan tanganya.

Aku lari sekuat tenaga, mencoba membuka pintu kamar, hingga aku bisa keluar dari rumah. Kesedihanku memuncak saat ada wanita berdiri di depan pintu rumahku, penampilan yang tak patut ditiru, dan aku menyebut dia tak berpakaian. Aku penasaran dengan wanita itu, ku dekati dia dengan genangan air mata yang masih terus mengalir sederas lautan.

“kamu siapa?”

“kamu tidak perlu tahu aku siapa, mana mas Hendri?”

Hendri itu suamiku, entah siapa perempuan ini, dia datang bersama suamiku ataukah datang sendiri, tidak lama kemudian. Suamiku muncul, serasa jantungku lepas. Dia membawa pisau yang dia ambil dari dapur, aku paham betul pisau itu. Karena pisau kesayanganku yang biasa aku pakai saat memasak di dapur. 

“apa yang akan kamu lakukan mas? Sadar mas sadar!! Ini istrimu mas, istrimu!, apa kamu buta dan tidak melihat?”

“masa bodo, sebentar lagi kamu bukan lagi istriku, aku sudah siap dengan penggantimu”

Mas Hendri memandang wanita yang tadi ku temui, ternyata wanita itu adalah simpannya selama ini.

“mas, apa kamu buta mas. Selama ini aku bersabar, setahun sudah kamu tidak pernah menyentuhku, hingga sampai saat ini kita belum punya anak. Uang dari jerih payahku kamu rampas begitu saja, hanya untuk wanita murahan ini?”

“heh, apa kamu bilang? Aku wanita murahan? Kamu yang murahan, penampilan nora dan pantas saja suamimu tak sekalipun menyentuhmu. Lihat saja diri kamu, menjijihkan”

Serasa disambar petir berkali-kali, sakit, dan benar-benar kata-katanya menyakitkan. Tidak pikir panjang, aku langsung lari meninggalkan mereka berdua, entah kemana tujuanku. Dan aku putuskan untuk pergi kerumah ibuku, tidak jauh dari rumahku, sekitar 4KM dari rumah. Perjalanan malam yang menyedihkan, aku lewati berbagai rintangan di jalan. Mulai dari godaan pria-pria kurang kerjaan, hampir di tangkap satpol PP yang berjaga malam dikira aku PSK (pekerja seks komersial), jatuh di jalan, sandalku lepas dan aku lihat makhluk halus di makam samping rumah ibuku. Tragis nian malam ini, aku menangis berhari-hari di rumah ibu, tanpa sedikitpun menceritakan kepada ibu. Aku mengurung diri di kamar selama lima hari, tidak makan, tidak minum dan tidak pula mandi. Bisa dibayangkan bagaimana keadaanku.

“nak, keluar nak. Sudah lima hari kamu mengurung diri di kamar. Ada masalah apa, cerita sama ibu sayang!”

Mungkin hanya suara isakan tangisku yang ibu dengar, terdengar ibu ikut menangis. Mungkin merasa gelisah dengan keadaanku selama ini. Tidak kuasa mendengar tangisan ibu. Aku buka pintu  dan ku peluk erat tubuh ibu.

“maafkan aku bu, membuatmu khawatir,. Aku ada masalah dengan suamiku bu,”

“kenapa dengan suamimu sayang?”

“dia.. dia..punya simpanan bu”

Dengan isakan tangis yang mendalam, dan penuh dengan derita. Seakan malam berganti pagi menjelma pangeran mentari menyambut hari bahagiaku.

Aku ceritakan semua kejadian yang aku alami, ibu hanya menghela nafas menyaksikan seorang anak kesayangannya menangis tak tertahankan. Memelukku penuh kehangatan. Dan aku tak ingin melepaskan, aku rindu pelukan ibu. Yang selalu menenangkan, menghangatkan dan membahagiakan.

5 bulan kemudian...

Hari-hariku sudah seperti biasa sendiri tanpa suami, menemani ibu jualan kue lapis keliling. Penghasilan tidak terlalu besar, alhamdulilah toko sembako di pasar sudah lebih besar. Bapa yang mengurus, sampai bekerja keras dan merelakan tidak bertemu keluarga. Hingga hasilnya pun sebanding dengan kerja keras. Tidak ada usaha yang sia-sia, semua akan terbalaskan dengan hasil yang memuaskan.

Saat mentari mulai meninggalkan sinarnya, ku pandangi langit dan ku dekapkan tubuh ini seorang diri, lima bulan lamanya aku bertahan. Dan hidupku lebih tenang, tidak terpikirkan oleh suamiku lagi. Sekarang dia sudah bahagia dengan wanita lain pilihannya, walau aku belum resmi dicerai. Sebuah masalah besar, namun aku hadapi semua ini dengan ketabahan dan dengan dukungan ibu, bapaku untuk selalu ikhlas dengan segala cobaan.

“kriing...kring...”

Suara telpon rumah ibu berbunyi, sedikit mengagetkan. Karena telpon rumah jarang berbunyi selain bapa yang telpon.

assalamu’alaikum, dengan siapa ini?”

wa’alaikumsalam

Terdengar suara berat dan lemah, entah siapa yang menelpon,

“siapa ini? Ada yang bisa aku bantu?”

“ini aku..”

Sejenak sunyi sepi, tidak ada kata lain yang dia katakan, semakin penasaran dan cemas dengan keadaan ini.

“aku Hendri,”

“mas Hendri??”

Entah bara apa yang akan datang lagi kehidupanku, dia hadir lagi dikehidupanku. Namun aku harus berpikir positif, mungkin dia membawa kabar gembira.

“iya, aku mau minta maaf sama kamu. Aku bersalah menyia-nyiakan kamu selama ini, aku khilaf. Ijinkan aku membawamu kembali kepelukanku!”

Ombak menyambar kegelisahan selama ini, menerjang seluruh sakit hatiku selama ini. Tak bisa ku terima dia begitu gampangnya mengatakan seperti itu.

“apa maksud mas mengatakan seperti itu, kamu begitu gampangnya membuangku. Sekarang kamu akan mengambilku lagi? Untuk apa lagi mas? Hanya untuk permainanmu saja? Aku tidak akan sudi menerima tawaranmu lagi, aku benci kamu mas.!!”

Isakan tangis mulai terdengar, ibu yang mendengar percakapan kami, dan mendengar ku menangis langsung keluar dari kamarnya.

“ada apa sayang? Kenapa kamu menangis, siapa yang menelpon?”

Tidak ada jawaban dari mulutku, hanya air mata kepedihan menyelimutiku. Langsung ku tutup telpon, dan ku peluk ibu. Hanya ibu yang bisa membuatku tenang.

“bu..mas Hendri bu,”

“kenapa dengan dia nak, dia ngapain kamu lagi, sampai membuatmu menangis lagi. Tidak puas juga dia memperlakuan kamu selama ini?”

“dia ingin membawaku kembali bersamanya bu, dia tega bu. Setelah dia membuangku, menganggapku tak ada disetiap tidurnya, menjadikanku sebagai pembantu di rumahnya, dan sama sekali tidak pernah menyentuhkan justru menyentuh wanita lain. Dan sekarang?”

Bulan mulai menggantikan sinar mentari, semakin gelap diterangi gemerlapnya bintang malam. Tidak ada senyum yang melekat di bibirku.

“ibu, kita ke taman depan rumah yuk! Aku ingin menikmati malam bersamamu bu.”

“ayo nak, ibu juga lama tidak keluar malam”

Dengan pakaian muslim merah menempel di tubuhku, berjalan dengan penuh harapan. Ku duduk di samping kanan ibu, kami berbincang-bincang, dan saling bercanda. Sembari memandangi bintang yang tersenyum pada kami. Dan melupakan pembicaraan dengan mas Hendri.

Tidak lama setelah itu, datang sosok yang tidak asing lagi. Dengan memakai sarung dan baju koko putih yang dia pakai. Dia adalah mas Hendri, entah malaikat apa yang telah merasukinya menjadi seperti ini.

“mas Hendri, apa yang sedang kamu lakukan? “

“aku ingin menemuimu, sekarang aku sadar. Aku sudah bertaubat sayang, tolong bukalah pintu hatimu untuk bisa memaafkan aku dan menerimaku lagi menjadi suamimu lagi!”

Ibu yang masih duduk di sampaing kananku, langsung berdiri dan mendekati mas Hendri, pandangannya sudah membara, serasa syetan mulai mempengaruhi ibuku,

“apa kamu sudah gila Hendri? Apa kamu tidak puas juga, anakku menderita gara-gara kamu, tidak sedikitpun anakku bahagia bersamamu, aku tidak akan rela memaafkan kamu, tidak akan!!”

“ibu, tolong maafkan aku bu!!”

Tidak disangka, mas Hendri bersujud di kaki ibuku, ibu pun menangis, dan terus menangis. Terlebih aku, aku jatuhkan tubuh ini ke tanah dan aku bingung apa yang akan aku lakukan. Aku berpikir mas Hendri sudah berubah, dia rela bersujud di kaki ibuku.

“sudah mas, sudah. Aku sudah memaafkan kamu”

“apa kamu bilang nak? Apa kamu termakan dengan omong kosong dia? Sadar nak sadar!”

“ibu.. tolong maafkan mas Hendri bu, aku yakin dia sudah berubah.”

Ibu tidak berani mengatakan apa-apa, dia pergi meninggalkan taman, dengan tetesan air mata yang masih tertinggal. Ku dekati mas Hendri, ku berdirikan dia, dan dia memelukku begitu saja. Tidak ada tanda-tanda kebohongan yang aku rasakan, aku rasa memang mas Hendri sudah berubah.

“kembali padaku ya sayang, aku butuh kamu. Maafkan aku ya sayang!”

“iya mas, aku memaafkan kamu. Aku juga mau kembali lagi bersamamu.”

“tapi bagaimana dengan ibu sayang?”

“nanti aku yang bicara dengan ibu mas, semoga ibu mengizinkan aku kembali bersamamu mas,”

“makasih sayang, aku menyesal menyia-nyiakan kamu”

“iya mas, sekarang kamu pulang saja dulu. Besok aku kabari lagi mas,”

Mas Hendri kembali kerumahnya dan aku menemui ibu dik kamarnya, aku tahu bagaimana perasaan ibu, ketika melihat anaknya disakiti. Aku paham, dia hanya khawatir aku akan dibuat sakit lagi sama mas Hendri.

“bu..maafkan aku ya bu!”

“kamu tidak salah nak, dia yang salah. Ibu tidak mau kamu kembali lagi dengannya. Ibu pikir dia hanya menjebakmu saja, ibu yakin itu”

Suara ibu keras sekali, tidak biasanya seperti ini. Mungkin amarahnya sudah memuncak. Aku menghela nafas, tidak berani aku berkata kasar pada ibu.

“ibu, aku tahu bu. Tapi aku masih menyayanginya bu. Aku yakin dia sudah benar-benar berubah. Dan aku sudah memaafkannya dan aku mau kembali bersamanya.”

“apa kamu bilang, kamu buta? Dia tidak tulus!!”

“aku yakin bu, dia benar-benar tulus menyayangiku”

“terserah kamu nak, ibu sudah memperingatkan kamu”

Dengan suara yang lebih rendah ibu menyerahkan semua ke aku, sebuah hal yang tidak gampang bagi seorang ibu merelakan anaknya pergi, terlebih pergi bersama orang yang pernah menyakitinya.

Pagi yang cerah, mengantarkanku kerumah mas Hendri, rumahnya masih utuh. Tidak ada perubahan apapun. Ku buka pintu kamar, dan terlihat banyak bunga mawar yang segar, tersebar di tempat tidur kami, begitu indah dan wangi.

“kamu yang melakukan ini mas?”

“iya sayang, semua ini untuk kamu”

“makasih mas, aku kangen ibu mas. Tadi ibu aku pamitin dia tidak mau keluar kamar. Aku takut ibu semakin terpukul dengan semua ini”

“sudahlah sayang, nanti ibu akan sadar juga”

Nada bicara mas Hendri mulai berubah, kemarin yang berubah halus dan penampilan yang alim, sekarang sedikit berubah. Perubahan itu aku kenal, dia berubah seperti dulu. Tapi aku buang pikiran burukku, itu hanya melemahkanku saja. 

Malam ini aku tidak sendiri, seraya bulan menemani  tidur indahku bersama mas Hendri. Selama ini, baru dia menyentuhku dan aku merasa bahagia.

Berjalannya waktu sudah hampir 7 tahun lamanya, kami dikaruniai 3 orang putra. Mungkin semua orang akan berpikir, tiga putra itu bukti cinta dan sayang kami. Tapi tidak sebenarnya, selama aku pindah dari rumah ibuku, aku tidaklah bahagia. Dia hanya memanfaatkan aku untuk bisa mengandung anaknya, dan dia melakukan aku seperti binatang. Di atas tempat tidur penuh dengan bunga, namun didalamnya penuh duri. Hingga saat malam, dia menyiksaku. Dia menyentuhku seperti binatang. Sakit rasanya dengan perlakuannya. Aku salah menilainya, ingin aku kembali kepangkuan ibu, namun aku malu. Dulu aku tidak memperdulikan perkataannya.

Biarlah aku menanggung semua ini, isakan tangis ini selalu membasahi. Tidak ada keringnya kelopak mataku. Anak-anakku dibesarkan dari rahimku, tapi mas Hendri tidak pernah menunjukan kalau aku ibu dari mereka.

“mas, mau sampai kapan kamu menyembunyikan ini semua? Aku ini ibunya mas, apa kamu tega membiarkan anak kita hidup tanpa kasih sayang ibu?”

“biarlah, aku tidak akan pernah sudi mengenalkan anak-anakku dengan kamu”

Setiap lahirnya anak-anakku, selalu mas Hendri bawa di rumah ibunya, entah susu apa yang telah anakku minum. Kasihan anak-anakku. Dibalik semua ini, ada tujuan yang ingin mas Hendri capai. Yakni menguasai harta orang tuanya, karena ibunya menginginkan cucu darinya, dan itu menjadi syarat untuk bisa menguasai harta ibu, bapanya.

Sebuah hal yang menyakitkan, aku dipermainkan lagi selama ini, hati ini semakin rapuh. Tidak ada hal yang ingin aku lakukan selain menangis dan menangis. Bisa dibayangkan, penderitaanku memuncak, hati ini serasa hancur lebur. Aku melahirkan tiga anak, namun tidak ada satupun yang bisa ku peluk, dan dibiarkan tidak tahu siapa ibu kandungnya. 

Ketika mas Hendri pulang dari kerjanya, dia masuk rumah bersama wanita lain. Yang jelas lebih muda dan cantik dari aku, aku langsung menangis dan terisak  melihat mereka berdua. Sebuah ujian besar yang menimpaku, aku harus ikhlas dengan cobaan ini. Namun rasanya sudah tidak kuat lagi dengan penderitaanku ini.

“mas, siapa ini? Apa maksud kamu membawa perempuan ini?”

“kamu tidak perlu ikut campur, diam dan masuk ke kamar!!”

Dengan nada tinggi, dia membentakku, tidak kaget dengan nada kasar dan tingginya mas Hendri, aku sudah terbiasa dengan perlakukan ini.

“tidak akan mas, aku tidak rela wanita ini masuk kerumah kita mas, tidak.”

“heh, kamu. Siapa kamu? Beraninya ngomong seperti itu, apa kamu tidak malu dengan wanita seksi ini? Dia lebih dari segalanya.”

Aku tidak menyerah begitu saja, aku masih berdiri depan mereka berdua. Dan ku pandangi mas Hendri dengan pandangan amarah. Tidak ku sangka mas Hendri mendorongku hingga ku terjatuh menabrak tembok kamarku, yang bangunannya masih kokoh. Sakit tubuh ini, namun lebih sakit hati ini. Aku berdiri dan aku tampar mas Hendri, amarahku sudah memuncak. Dia tidak mau kalah dia memukulku berkali-kali dengan tas kantorny, hingga tubuhku semakin lemah. Wanita itu hanya tersenyum diatas penderitaanku. Aku lempar wanita itu dengan sandal yang aku pakai. Dan mas Hendri tidak terima itu, dia menamparku berkali-kali. Sampai aku tidak merasa sakit, aku lari. Mencoba melindungi diri, mas Hendri mengejarku. Entah apa yang membuatku berlari kegudang, mungkin tidak ada jalan lain.

Aku terjebak digudang itu, gudang penuh dengan bahan material dan barang yang sudah tidak dipakai. Mas Hendri terus mengejarku dan dia melepas kerudung yang ada dikepalaku, dia menarik keras rambutku, hingga rontokan rambut menempel ditangan mas Hedri. Begitu sakit aku rasakan air mata ini sebagai saksi bisu keadaanku selama ini, dia yang selalu menemaniku disetiap keadaan.

“bunuh aku mas, bunuh! Biar kamu puas!”

“tidak akan, sebelum aku membunuhmu, aku akan menyiksamu terlebih dahulu, hahaha”

Dengan tawanya, aku merasa syetan-syetan merasukiku dan aku berdiri tegak, langsung ku ambil palu besar yang ada di sebelah kiriku, dan aku pukulkan berkali-kali di kepala mas Hendri, dia sempat melawan, namun dia kalah dengan tingkahku yang kesyetanan. 

Darah mengalir dari telinga mas Hendri, aku belum puas melihatnya masih bisa melototiku, aku pukul lagi berkali-kali hingga kepala mas Hendri hancur dan berlumuran darah. Aku baru sadar, ketika mas Hendri terjatuh lemah dan tidak bernafas, aku telah membunuh suamiku sendiri. Disisi lain aku merasa puas, karena kemarahanku selama ini telah terbayarkan dengan aku bisa mengahancukan kepalanya. Namun disisi lain, aku merasa bersalah. Tidak sepantasnya aku melakukan semua ini.

“mas Hendri...............”

Terdengar jeritan dari wanita itu yang menyaksikan kejadian itu, dia langsung berlari dan menghubungi polisi. Tidak lama kemudian, polisi mendatangi rumahku dan aku ditangkap karena membunuh suamiku.

Aku lihat ibuku datang dan tatapan matanya kosong, dia menangis histeris melihat aku dibawa kekantor polisi. Dan aku sama sekali menyesal dengan kejadian ini.

“pak polisi, izinkan aku bertemu ibuku sebentar”

“iya bu, silahkan!”

“ibu.....”

Aku peluk ibu dengan penuh penyesalan, aku menyesal dulu tidak mempercayai ibu.

“iya, sayang. Kamu yang sabar yah, kamu harus menanggung semua ini.”

“iya bu, maafkan aku bu, aku pernah membangkang ibu. Aku lebih percaya ke mas Hendri dibandingkan ibu”

“sudahlah nak, ibu tetap sayang sama kamu, ibu yakin apa yang kamu lakukan berawal dari sebuah penderitaan yang mendalam”

Baru berapa kalimat yang ibu lontarkan, polisi sudah menarikku untuk cepat masuk kemobil dan pergi ke kantor polisi.

“nak, ibu selalu mendoakanmu”

Aku menangis dan ibuku pun menangis, rasanya tidak tega melihat ibuku seorang diri dirumah, sedangkan bapa sibuk dengan pekerjaannya, sampai lupa dengan keluarganya.

Dibukalah pintu mobil, aku masuk dengan perlahan sembariku pandangi  wajah ibuku tercinta. Wajah ibu menghilang ketika mobil sudah berjalan dan tertutuplah jendala mobil.

Prosesi sidang sudah dilakukan, dan aku ditetapkan 10 tahun dipenjara. Waktu yang tidak lama, namun aku harus melewati semua ini dengan ikhlas, aku yakin Tuhan akan membalaskan.

Sebuah hal yang menyakitkan, namun dengan mengingat Tuhan kita akan lebih tenang menghadapi segala cobaan hidup.
Tag : cerpen, Rahma
0 Komentar untuk "Karenamu Aku Membunuhmu"

Back To Top