Kerasnya Hidupku



Aku dilahirkan di dusun terpencil di daerah pegunungan, yang masih jarang ditempati orang. Ibuku meninggal usai melahirkanku. Sedangkan aku tinggal bersama ayahku, tapi itu tidak berlangsung lama. Ketika ada peristiwa gempa di daerahku, ayahku sedang menggali batu-batu di pegunungan. Dan tidak disangka, gempa pun datang. Pepohonan dan tanah, batu runtuh menjatuhi ayahku dan beberapa pegawai lainnya. Saat itu aku masih berumur 1 tahun. Aku di tolong oleh pamanku, dia adik dari kakaku.


Setelah aku sudah yatim piatu, aku hidup bersama paman dan juga bibiku. Umur 3 tahun, aku sudah terbiasa membantu paman mencari kayu di hutan. Hutan yang masih jarang dimasuki oleh masyarakat situ. Jadi bisa dibilang hutan rimba. 


Kehidupan ini, aku rasa sangatlah keras. Untuk makan sehari-haripun susah. Terlebih setiap hari aku harus mencari kayu bakar, dan mencari makanan untuk anjing milik bibiku.

“heh, kamu jangan nganggur-ngangguran! Kerjakan pekerjaan ini!”

Bibi memberikan sapu lidi, dia menyuruhku menyapu halaman rumah, yang cukup luas, dan penuh dengan sampah daun dari pohon-pohon disekitar rumah paman. Sikap bibi berbeda dengan paman, bibi kasar denganku. Aku yang masih kecil, dia berani memukulku, menghukumku di kandang anjing, dan memperlakukan aku seperti binatang. Aku harus tetap bertahan dengan keadaan ini. Karena kalau tidak, aku akan hidup bersama siapa lagi. Kalau tidak dengan paman dan bibiku.

Setiap hari aku menangis, dengan perlakuan bibiku, sedangkan paman tidak sedikitpun membelaku. Justru terdiam, seakan-akan takut dengan bibi.

Ketika umurku menginjak 5 tahun, aku masih bertahan dengan penderitaan selama ini, tubuhku kering kurus hanya bertulang tanpa daging ditubuhku. Setiapa hari aku hanya makan singkong yang paman dapatkan dari hutan.

Ketika malam tiba, bintang malam telah tersenyum bersama sinarnya. Aku termenung menatap diri, dibalik cermin pecah di kamarku.Tiba-tiba bibi datang mendatangiku, bibi menyuruhku mengerjakan semua pekerjaan paman. Aku rasa aku tidak berdaya, harus melakukan apa yang biasa paman lakukan. Pekerjaan berat paman, harus dilakukan oleh anak seumurku.


“Adi, kamu tahu paman sedang sakit. Kamu harus kerjakan semua pekerjaan paman!”


“bibi, tapi Adi masih kecil, tidak mungkin melakukan itu”
“masih kecil bagaimana, dasar anak tidak tahu diuntung”

Bibi menarik tanganku, aku didorong keluar rumah, dan melembarkan kotoran anjing kemukaku. Aku menangis terisak-isak, tidaklah kuat menahan sakitnya hati, baunya kotoran anjing, dan lemahnya tubuhku.

“bibi, maafkan aku bi, besok aku kerjakan semua pekerjaan paman, selama paman masih sakit”

“baik, mulai besok kamu kerjakan semua pekerjaan paman!, mulai dari mengambil air, mengambil kayu, mencakul kebun, dan menggali batu di pegunungan”

Tidak ada balasan kata apapun dari bibir kecilku, aku hanya membayangkan dan menangis meratapi keadaanku ini. Namun aku harus ikhlas dengan semua cobaan ini, aku harus berdiri tegap dengan kerasnya hidup. Mataku serasa kering, hingga mataku sakit sedangkan hatiku lebih sakit..

“heh, kenapa kamu diam saja? Apa kamu tuli hah?”

Bibi mendekatiku dan menampar bibir kecilku, aku menangis histeris, namun tidaklah mengeluarkan air mata. Mungkin sudah habis pula air mata ini.

“iya bi, besok aku kerjakan semua pekerjaan paman”
“bagus, malam ini kamu tidur di kandang anjing!”
“breggg...”

Pintu ditutup dengan kerasnya dan aku dibiarkan diluar, entah apa yang ada dipikiran bibi. Aku tidak punya siapa-siapa sekarang. Aku harus patuh dengan semua perintah bibi. Terlebih pamanku sakit, dia terlalu lelah. Bibi terlalu memojokkan paman, untuk ngoyo mencari uang. Aku tidur beralaskan rumput berduri disekitar kandang anjing, hingga pagi pun tiba.

Pagi yang mendung ini, sepertinya mewakili hatiku, yang begitu sakit. Perasaan tak berdaya dan tak mampu berbuat apapun. Karena aku terlalu kecil dan lemah untuk menyikapai kehidupanku ini. 

Terlihat bibi sedang memasak air untuk diminum paman, namun tidak lama setelah itu. Bibi berteriak histeris,

“bapa................., bangun pak, bangun!! Adi..”

Aku langsung masuk kerumah dan aku mendekati bibi, terlihat paman muntah darah. Entah apa yang harus aku lakukan.

“bibi, paman kenapa bi?”
“kamu banyak nanya, pamanmu sakit di, sakit. Apa kamu tidak lihat?”
“maafkan aku bi, apa yang harus aku lakukan?”
“sini kamu sini!”

Bibi mulai menyiksaku, disaat keadaan paman butuh bantuan. Paman sedang sekarat, namun bibi memukuliku, mencelaku dan memarahiku, bibi bilang ini salahku. Karena paman sakit gara-gara mencari uang untuk menghidupiku. Sebuah petir besar menyambar hidupku lagi. 

“cepat kamu pergi! Dan cari pertolongan!”
“iya bi,”

Aku berlari, dengan kaki tanpa alas, melewati bebatuan, tanah kering, dan rumput berduri. Perjalanan ini sungguh menyiksaku. Pemukiman warga masih jauh dari tempat kami tinggal. Tidak ada sepeda, apalagi sepeda motor. Tidak mungkin pula aku bisa untuk mengendarainya. Aku terus berlari sekuat tenaga, begitu banyak rintangan yang aku hadapi. Mulai dari digigit serangga, digigit ulat, dan paling parah aku terpelosok dalam tebing. Sungguh sakit semua badan ini. Namun aku masih bisa bertahan dengan kelemahan ini, karena aku bertekat keras menemukan bantuan. Untuk mengobati pamanku. Ini adalah pengorbananku untuk membayar semua jasa-jasa paman selama ini, yang sudah merawatku, dan membesarkanku.

Perjalanan ini aku tak sendiri, air mataku sudah bisa keluar dan air mata menjadi teman setiaku selama ini. Aku menangis, karena menahan rasa sakit di tubuh ini, dan rasa ingin segera bertemu dengan orang untuk menolong paman.

“maafkan aku paman, aku akan berusaha sekuat tenaga”

Aku masih berlari, satu jam sudah aku berlari dan semakin jauh aku tinggalkan rumah paman. Dipersimpangan jalan, aku bingung arah mana yang akan aku ambil. Aku putuskan ambil arah kanan, dan beruntungnya aku bertemu dengan nenek yang sedang berjalan melewati perkebunan teh.

“nek, bisa bantu saya?”
“iya nak, kenapa sayang?”
“paman saya sakit, bisa nenek panggilkan dokter?” 
“paman kamu dimana?”
“di atas sana nek,”

Aku sembari menunjuk arah dimana rumah paman berada, terlihat nenek tidak bisa membantu. Dengan pandangannya yang lemah, dan menunduk.

“maafkan nenek sayang, jaraknya terlalu tinggi. Nenek bisa mengobati, dengan obat herbal dan dengan doa warisan keluarga nenek. Tapi nenek tidak mampu berjalan begitu jauh dan cukup terjal”

Tidak ada jalan lain, aku harus bisa membawa nenek ini pergi kerumah paman. Sembari aku berpikir, nenek itu berjalan melanjutkan perjalanannya. Aku mengejar nenek itu, dan aku katakan padanya, kalau aku siap menggendong nenek kalau nenek sudah tidak kuat berjalan. Dan pada akhirnyapun nenek bersedia membantuku.

Perjalanan penuh dengan lika liku, aku harus bertahan dan menjaga nenek agar baik-baik saja. Sudah setengah jalan kami berjalan, terlihat nenek mulai lelah. Karena tubuhnya yang kecil, kurus itu aku merasa kasihan. Walau aku baru berumur 5 tahun, aku punya semangat yang kuat, semua itu karena dari kecil aku merasakan kehidupan yang begitu kerasnya.


“nenek cape?”
“iya nak, kita istirahat dulu yah, sebentar saja!”
“iya nek,”

Sudah hampir seperempat jam kami beristirahat, terlihat nenek sudah menyerah, karena rasa lelahnya yang sangat terasa.

“nak, maafkan nenek. Nenek tidak bisa melanjutkan perjalanan ini. Nenek tidak kuat nak,”

Aku terdiam dan aku hanya menangis, aku berpikir apa yang akan aku katakan kepada bibi nanti. Aku pergi jauh tidak mendapatkan apa-apa. Aku merasa kasihan pada paman, bantuan apa yang sudah dia dapatkan.

“nek, saya gendong nenek yah”
“bagaimana kamu bisa menggendong nenek nak, tubuh kamu kurus, kecil seperti itu?”
“saya kuat kok nek, saya biasa kerja keras di rumah paman”

Dengan berpikir panjang, akhirnya nenek mau aku gendong. Cukup ringan, dibandingkan dulu aku harus menggendong beberapa tumpukan kayu yang beratnya melebihi berat nenek. Hingga serasa hancur pula tulang rusukku ini. Namun saat aku menggendong nenek, aku semakin semangat, semua ini demi paman. Orang yang telah merawatku selama ini,

“nak, kamu cape? Istirahat saja dulu,”
“tidak nek, saya harus cepat sampai di rumah paman, saya tidak ingin terjadi apa-apa dengan paman,”
“hatimu sangat mulia nak, dimana ibu, bapamu?”
“dari kecil aku sudah ditinggal ibu, dan bapa saya nek,”
“sungguh malang nasib kamu nak, nenek senang bisa membantu kamu,”

Tidak terasa tinggal beberapa langkah lagi sampai di rumah paman,

“nek, itu rumah paman saya sudah terlihat,”
“iya nak, turunkan nenek disini!”
“nenek udah kuat?”
“sudah nak, terimakasih banyak, dan maafkan nenek sudah merepotkan”
“tidaklah nek, saya yang berterimakasih dan meminta maaf sudah merepotkan nenek.”

Sesampainya di depan pintu rumah, terlihat bibi memasang muka merah dan melototi aku, aku langsung ditarik tangannya oleh bibi, dia lempar aku, hingga aku terjatuh. Aku masih tak mengerti kenapa aku baru datang, bibi marahin aku, apa yang terjadi sebenarnya.


“gara-gara kamu paman hilang dimakan harimau?”
“hah? Apa bi, ini tidak mungkin. Bukankah bibi yang menjaganya?”
“sudah! Diam! Jangan banyak bicara, semua ini gara-gara kamu, gara-gara kamu Adi..!!, aku benci kamu, aku benci!”

Bibi sangat terpukul atas kepergian paman yang sangat memilukan, paman meninggal bukan karena sakit yang dideritanya, tapi karena dimakan harimau. Tempat tinggal kami memang dihutan rimba, masih banyak binatang buas berkeliaran.

Nenek yang sedari tadi menyaksikan perlakuan bibi, merasa kasihan denganku. Dia meraih tanganku dan memelukku. Aku baru merasakan pelukan selama 5 tahun ini, sungguh hangat yang aku rasakan. Sekian lama aku belum pernah merasakan kebahagiaan.

“terimakasih nek, nenek sudah menjadi yang pertama kali memelukku, selama aku sadar, kalau aku hidup”

Mata nenek mulai berkaca-kaca, nenek memandangiku dan dia menangis. Sedangkan bibi masih histeris membayangkan keadaan paman. Namun tiba-tiba, bibi menarik tangan kecilku, hingga hampir saja patah, karena bibi menarik sekuat tenaganya. Nenek yang saat itu sedang memelukku kaget dan tidak bisa melawan bibi. Tenaga bibi lebih kuat dibandingkan nenek tentunya.

Aku dijatuhkan di kandang anjing milik bibi, aku dilempari kotoran, hingga baju yang menempel bukanlah bahan kaos lagi, tapi bahan kotoran anjing. Aku hanya menangis terisak-isak, apa yang harus aku lakukan. Terlihat nenek kebingungan karena kandang anjing langsung ditutup dan dikunci dengan ikatan simpul mati. Nenek tidak bisa membukanya.

Aku berteriak minta tolong, terasa berat tubuh ini, dengan kotoran anjing ini. Beberapa anjing melihatku, dan satu anjing menjilat-jilat wajahku yang penuh dengan kotorannya, hingga wajahku sedikit bersih dari sebelumnya.


Tidak lama kemudian bibi menyaksikan anjing itu membantu membersihkan wajahku, dia datang dengan membawa kayu bakar yang cukup besar dia pukulkan ke anjingnya. Dan seketika itu, anjing meninggal.

“hey kamu, apa kamu tidak punya perasaan sedikit pun, itu keponakan kamu siksa? Dan anjingmu kamu bunuh? Apa kamu sudah gila?”

Nenek mencoba mendekati kami, yang saat itu berada di kandang anjing, yang ukurannya kira-kira 4 kali 4 meter. Cukup untuk kami bertiga dan anjing-anjing masuk.

“heh, nenek tua, kamu tidak usah ikut campur urusanku!”

Entah syetan apa yang merasuki bibi selama ini, bisa sekejam itu kepadaku dan kepada siapapun. Sempat terpikir kalau paman meninggal karena bibi, karena tidak ada tanda-tanda harimau datang. Namun bagaimana bisa, kalau bibi membunuh paman. 

“bibi...”
"Panggilku dengan lemah,
“kenapa kamu?”
“aku ingin bibi jujur, paman kenapa bisa meninggal bi, kenapa?”


Terlihat wajah kebingungan dari bibi, entah apa yang akan dia katakan padaku setelah pertanyaanku tadi. Nenek mencoba membantuku untuk berdiri, tidak masalah bau kotoran anjing ini. Nenek tetap saja memelukku.


Tiba-tiba bibi berlari, dan menjatuhkan diri ketanah tepat depan jenazah paman. Dia berkata,

“maafkan aku pa, aku melakukan ini karena aku membencimu. Karena kamu tidak pernah memberikan harta yang banyak, tapi kamu justru sakit dan banyak menyusahkanku. Aku bersalah, aku menyesal sekarang. Bapa maafkan aku.”

Seperti mimpi, dugaanku benar. Dan nenek hanya memelukku dan ikut menangis, menyaksikan pengakuan bibi. Ternyata bibi yang membunuh paman, dengan menusukan beberapa pisau dapur ke leher paman. Tidak bisa aku bayangkan, bagaimana rasa sakitnya paman.

“bibi, maafkan aku bi. Adi sudah merepotkan bibi”

Aku pikir bibi sudah berubah, namun dia masih punya dendam kepadaku. Dia menggendong tubuh kecilku, dan dia lempar, dia buang aku ke jurang. Saat itu aku tidak tahu bagaimana nasib nenek. Karena saat itu aku tidak sadarkan diri.

Sebuah penderitaan yang mendalam, setelah kejadian itu. Aku ditemukan seorang nelayan, yang baik, dan penuh kasih sayang. Walau ekonomi berkecukupan, dia mampu menyekolahkanku hingga perguruan tinggi.


Semua kenangan buruk, akan ada kenangan manis pula. Selagi berbuat baik, kita akan dipertemukan dengan kebahagiaan.

Tag : cerpen, Rahma
5 Komentar untuk "Kerasnya Hidupku"

Back To Top