Korban Banjir Di Tanah Bengkulu




“kini cerita yang ada, ternyata tak sebatas patok tenda, semoga akan tetap terjaga, kisah asmara tunas kelapa..”

Tidak semudah itu, melupakan kenangan indah di tanah Bengkulu. Banyak peristiwa yang tidak cukup dituliskan dengan seribu lembar kertas, dan seribu pena. Tak dapat aku lupakan semua kenangan indah dan penuh makna itu.

Hingga secercah harapan menuangkan sepercik cerita yang sedikit mewakili rasa rindu yang teramat dalam.

Pagi itu aku sandarkan tubuhku di batang pohon kelapa sawit tepat di depan tendaku, suasana pagi itu masih sepi, entah karena apa. Namun situasi dan kondisi yang mendung, mempengaruhi kegiatan dan semangat teman-temanku. Masih ada yang tidur, termenung, dan ada pula yang sibuk dengan urusan pribadinya, entah itu nyuci, mandi dan menghias diri mereka. Sempat terpikirkan, untuk apa pagi mendung seperti ini menghias diri, siapa yang akan melihat dan memperhatikannya? Sedangkan mereka ada di tenda masing-masing.

Perkemahan itu begitu menghangatkan, walau suasana pagi itu mendung, tidak menghalangiku beraktifitas. Kami juga diajarkan berwirausaha, membawa barang-barang dari tanah kami, kami bawa ke tanah Bengkulu. Tujuannya singkat saja, untuk melatih diri berwirausaha saja. Bagaimana rasa tanggung jawab, dan memikulnya. Teramat berat, membawa barang yang kalau diuangkan tidaklah sedikit. Harus ada kepercayaan dari masing-masing pihak dan tanggung jawab.


“mba, mba.. ini berapa mba?”
“mas, kalau ini berapa? Ada yang panjang tidak?”
“mba, mba, kalau yang warna merah ada ngga?”

Sempat pusing juga, melayani banyak orang seperti itu, untung aku tidak sendiri. Ada satu teman saya, aku sering memanggilnya mas Ripan. Pembeli ternyata rewel banget yah? Tapi itu belum diluar bataslah, masih normal. Beda dengan saya, hehehe.

ibu, mau yang mana bu?”

Tanyaku pada salah satu pembeli yang sedari tadi hanya diam dan berdiri memandangiku dengan tersenyum.

“tidak mba, sedang memperhatikan penjualnya saja”

Aduh, apa yang terjadi sebenarnya. Konyol juga ibu yang satu ini, katanya memperhatikan penjualnya saja, dikira anaknya apa yah?

“ibu, bisa saja. Saya malulah bu, diperhatikan begitu”
“saya memperhatikan baju kamu saja mba, ada yang dijual ngga baju kaya punya mba? Saya ingin membelikan untuk anak saya?”

Ini lelucon atau bagaimana? memang konyol ibu yang satu ini. Aku lupakan saja ibu itu dan aku arahkan perhatian ke ibu-ibu yang tanya saja.

“mau yang mana bu?”
“yang ini mba, berapa harganya?”
“tujuh puluh lima ribu bu,”
“murah amat mba, ada yang lebih mahal? Tapi yang modelnya sama yah kaya baju ini!”

Aku dan mas Ripan saling bertatap muka, mata kami saling bicara. Karena ibu-ibunya aneh, dan konyol. Karena aku sudah mulai lelah, dan tak mampu harus berbuat apa menghadapi mereka yang super konyol. Mas Ripan yang turun tangan, sedangkan aku hanya terdiam dan sedikit tertawa saja.

“oh, yang baju itu ya bu, saya carikan yang lebih mahal yah. Tunggu sebentar!”

Mas Ripan mencari baju yang modelnya sama, namun warnanya berbeda. Tapi masalah harga masih sama sebenarnya dimahalkan saja, mas Ripan memang sudah ahli, tidak sepertiku. Menghadapi begitu saja langsung lemes.

“ini bu, bajunya sama modelnya. Tapi warnanya saja berbeda, tapi ini harganya lebih mahal, seperti yang ibu harapkan tadi.”

“berapa harganya?”
“seratus lima puluh, bagaimana bu?”
“baiklah, saya ambil dua ya mas!”

Senyum lebar terarahkan padaku, ternyata tidaklah sulit mengahadapi orang-orang konyol begitu, perlu pemahaman saja. Hari itu aku dapat satu ilmu. Bagaimana nasib ibu yang menginginkan baju seperti yang aku pakai?

“mas, bagaimana dengan ibu yang menginginkan baju yang aku pakai,?”
“apa? Itukan seragam kita”
“emang iyah,”
“iya udah, nanti aku yang bicara.”

Dengan perasaan yang tidak enak itu, mas Ripan menghampiri ibu tadi, dan dia mengatakan, 

“maaf ibu, baju yang teman saya pakai tidak kami jual, “
“aduh , bagaimana si mas. Seharusnya bisa bawa dong!”

Aku tepok jidatku, ada rasa marah, ada hiburannya juga. Ada ibu yang seperti itu. Tidak peduli, ibu tadipun pergi tanpa senyum, sapa.

“aneh banget ya mas, hahaha”
“memang, ibumu kaya gitu yah?”
“hahhaa.. ya nggalah”

Tidak lama setelah itu, banyak pembeli lainnya berdatangan. Sepuluh menit kemudian, hujan turun. Aku segera membantu mas Ripan, membereskan barang-barang dagangan dan untung atapnya sudah ada. Tidak terlalu menyusahkan. Dan pembeli satu persatu meninggalkan kami. Tidak menjadi masalah besar bagiku, masih ada hari esok yang akan lebih cerah, dan mendapatkan rejeki yang lebih besar.

“kriing..kring,,”
“assalamualaikum,”
“Wie kamu dimana?”
“aku di stand mba Dia, kenapa?”

Terdengar sedikit berisik, karena rintikan hujan yang besar. Sehingga aku tidak mendapatkan suara mba Dia dengan jelas.

“halo mba, suaranya ngga jelas, “
“intinya cepat ketenda sekarang!”

Telpon langsung ditutup begitu saja, akupun segera ke tenda tanpa payung ataupun jas hujan menempel dibadanku. Aku tinggalkan mas Ripan sendiri di stand. Aku berlari, sesampainya ditenda. Beberapa teman, seperti: Oza, Iqoh, Nur, Mas Alpan dan mb Dia sedang membereskan barang-barang kami untuk di selamatkan.

“mba, mas mau dibawa kemana ini barangnya. Biar aku bantu,”
“tidak usah dibawa kemana-mana, tolong ambilkan plastik besar yanga ada di dapur!”
“iya mba Dia, aku ambil”

Segera aku ambil plastik di dapur, kondisi dapur sudah parah. Banyak genangan air di wajan, ember, dan kompor gaspun lenyap pula. Keadaan kotor dan aku rasa ini tidak pantas ditempati manusia, lebih cocok ditempati bebek atau hewan ternak lainnya.

“ini mba, plastiknya,”

Segera mereka lari kesana kemari menyelamatkan barang-barang kami, yang bersifat pribadi, umum, dan semua itu penting. Tapi semua itu tidaklah semulus harapan, tenda yang awalnya sebagai tempat penyelamat, justru tidak bisa diandalkan. Tenda bocor, dan air hujan yang masuk, bukan hanya dari atas saja, tapi dari bawah pun air masuk.

Sungguh lelah rasanya, tidak lama setelah itu. Mas Ripan membantu kami, aku dan mas Ripan membuat aliran air yang benar. Tidak ada cangkul saat itu, aku menggunakan sandal yang entah milik siapa, sedikit konyol mungkin, tapi ini adalah pongorbanan, tidak lama setelah itu Iqoh dan Robi membantu kami membuat aliran air, untuk dialirkan ke jalan air yang sebenarnya. Baju kami tidaklah nampak, hanya lumpur yang menempel. Semua itu kami bertahan sampai sore hari. 

Waktu mahgribpun tiba, kami bergegas membersihkan diri, dan melaksanakan shalat dalam keadaan yang memprihatinkan, tidak ada bantuan sedikit pun dari panitia. Terjun membantu kita, atau hal sekecil meminjamkan cangkul kekami. Jujur saja, hatiku sanganlah geram, ingin rasanya, aku raih tangan panitia, untuk terjun bersama kami.

Sepertinya, hanya tenda kami yang keadaanya begini, bukanlah tempat manusia. Memang benar apa kataku, seperti kandang hewan ternak. Menjijikan, bisa dibayangkan bukan?

Tanahnya sensitis banget, diinjak sedikit langsung hancur, sehingga kami semakin hati-hati. Sebuah perjuangan bukan? Tapi tidak berhenti sampai disitu,

Ketika kami sudah bersih dengan pakaian kami, usai shalat isya, hujan datang dan kami sambut dengan kepala tertunduk. Bagaimana nasib kami nanti, dan bagaimana barang-barang penting kami, sedangkan masa perkemahan kami masih lama.

“cepat!cepat! bereskan barang-barang ini, kita minta bantuan ke panitia, cepat!”

“panitia, bisa apa mba Dia? Mereka hanya terdiam melihat penderitaan kami selama ini,”

“kamu jangan keras kepala Wie, panitia pasti siap membantu kami,”
“tidak usah lah mba Dia, Wie benar. Panitia tidak bisa kita andalkan.”
“Iqoh,janganlah kalian berpikir negatif seperti itu? Lakukan yang terbaik buat kita, apapun itu. Panitia pasti akan membantu kita, percayalah!”

Akhirnya dari perdebatan singkat itu, kami menghubungi panitia, terlihat di tenda panitia tempat sudah cukup penuh, untuk menampung barang-barang milik teman kami dari lain daerah, sepertinya mereka sudah lebih dahulu meminta bantuan. Tidak berpikir panjang, akhirnya kami relakan sudah barang-barang kami basah kuyup. 

Dengan baju yang menempel di tubuhku ini, aku bukannya merasa terlindungi. Tapi semakin terasa penderitaanku ini. Dingin yang menerpaku semakin membuatku lemah. Aku, mas Ripan, mas Alpan, Robi, dan Ozi terpaksa harus memperbaiki aliran air yang baru saja kami yang buat tadi, justru jebol karena hujan malam itu lebih besar.

Dengan niat yang baik, tanpa mengharap apapun, kami rela hujan-hujanan dan tidak takut kotor tentunya. 

“Wie, tolong ambilkan sandal merah milikku”
“yang mana mas Alpan?”
“itu sebelah kanan kamu”

Kami membuat aliran dengan sandal-sandal kami, kerjasama yang baik terbentuk dari kami, tapi disitulah semakin terasa. 

“mas Ripan awass.......”




Terdengar suara Iqoh yang sedari tadi menyaksikanku. 

“bleegggg”

Terlambat sudah Iqoh, membatalkan niatku, melempar lumbur ke baju mas Ripan, 

“hahaaaa, lucu mas lucu,”
“awas kamu Wie, “

Kami saling kejar-kejaran, disusul dengan yang lainny membawa lumpur di tangan kanan dan kiri kami, tapi namanya saja lumpur belum dilembar justru kena baju kami. Canda tawa tergambarkan, kami bekerja untuk bersama, dan kami bahagia melakukan itu semua. Karena dari awalnya niat kami tulus.

Disamping kami berjuang, yang lain hanya menyaksikan kami, dan merekapun mengungsi ditempat yang panitia sediakan, sedikit pukulan besar bagiku pribadi, sakit rasanya menahan semua ini. Aku berpikir, apa mereka berhati batu? Membiarkan kami berjuang sendiri, sedangkan apa yang sedang kami perjuangkan adalah untuk bersama.

Tidak lama , aku meneteskan air mata. Bukti kemarahanku ini aku keluarkan dengan air mata,

“Wie, jangan nangislah! Aku tahu apa yang kamu rasakan, aku juga merasakannya,”

“iya Oza, tapi apa mereka buta dan tuli?, tidak melihat penderitaan kita?”

“orang baik akan mendapatkan orang baik pula. Kamu adalah teman baik kami, dan kamu akan mendapatkan kebaikan pula dari kami, jangan khawatir sendiri! Oke? Semangat!”

Sebuah kalimat bijak yang ada dapatkan dari teman-temanku, hingga aku sedikit melupakan kekecewaanku. Mungin yang kecewa bukan hanya aku saja, tapi mungkin temanku juga.

Hujan tidak kunjung reda, kami sudah lelah,

“kita istirahat saja dulu yuk!”

Ajak Robi, dengan muka pucat 

“kamu sakit Robi?”
“kita berteduh saja dulu, sini!”

Mas Alpan membawa kami kesebuah pohon kelapa sawit, yang tidak terlalu tinggi, tapi cukup untuk kami berteduh. Terlebih melihat kondisi Robi yang pucat, lemah seperti itu. Teman-teman dari daerah lain hanya memperhatikan kami, di bawah tenda yang tidak ada masalah sedikitpun. Tidak ada perhatian sedikitpun dari panitia, sekian jam kami berdiam diri berteduh dengan pakaian basah di tubuh kami.

Aku pandangi tubuhku yang berlumpur, begitupun dengan temanku. Baju seragam tidak nampak lagi, sudah coklat semua karena lumpur yang menempel. Tenda kami hampir roboh, barang-barang kami pasti basah, karena didalam tenda. Sedangkan tendanya bocor. Tidak ada baju kering yang tersisa, biarlahku habiskan malam dengan pakaian basah dibadanku. Cukup menyiksa diri, dingin yang kurasakan, hujan tak kunjung reda pula, dan tak ada tempat yang bersih untuk kami duduki dan tidurkan tubuh ini sekejap saja. 

Badanku sudah sangatlah lemah, rasa kantuk yang teramat dalam, mengantarkanku duduk di atas rumput yang penuh lumpur dan pejamkan mata sejenak dengan keadaan yang memprihatinkan, dengan posisi jongkok dan tertunduk, aku pejamkan mata ini.

Sungguh tragis bukan? Tapi semua ini adalah pengalaman terindah. Merasakan keadaan yang tidak semua orang merasakan, perjuangan besar yang dilakukan, aku yakin akan ada pengaruh besar untukk diriku sendiri. Dan akan menghasilkan sebuah keajaiban yang luar biasa.
Tag : cerpen, Rahma
0 Komentar untuk "Korban Banjir Di Tanah Bengkulu"

Back To Top