Izinkan Aku Sedetik Bahagia


Malam terlihat bahagia, saat mata ini memandang luas cakrawala. Di sana akan banyak hal yang ku temukan, setiap detak jantung yang terdengar, di sana ada banyak makna kehidupan yang perlu kita tahu dan temukan. 



Saat matahari mulai memancarkan keindahan cahaya yang begitu bermakna, di sana aku masih tertutup oleh selimut hangat berwarna merah. Aku mencoba membuka mata, dan memasang telinga lebih benar, seperti terdengar bunyi teleponku, tak pikir panjang, dengan mata yang masih berusaha membuka tanganku meraih handphone,
Hallo, Assalamu’alaikum” dengan suara serak 
“wa’alaikumsalam,”
 
Mataku tiba-tiba langsung terbelalak, mendengar suara yang tak asing lagi bagiku, dia adalah kekasihku. Yang lama tak pernah ada kabar, terlebih bertemu, sama sekali tidak pernah. 

“sayang, kamu telepon aku. Senang sekali rasanya, bisa mendengar suaramu. Setelah sekian lama ini kamu pergi jauh meninggalkanku” 
“maafkan aku, kali ini, ingin rasanya aku benar pulang. Untuk bulan depan, di hari spesial kamu” 

“benarkah itu? Kamu tidak akan mengecewakan aku yang sekian kalinya, apakah tahun ini akan menjadi hadiah yang berbeda? Bukan hadiah kabar kamu tak jadi pulang, tapi kabarmu datang dan menemuiku?”

Aku tak sadar jika apa yang aku katakan, cukup membuatku terluka, karena ingat dengan masa lalu yang begitu kelam. Saat janji-janji terlontar tak ada satupun yang di tepati. Sebuah penantian yang bukanlah sebentar, sebuah penantian yang menguras air mataku. Hingga saat ini masih saja mengalir deras, tak kenal musim hujan atau kemarau. Hingga tak sadarkan, berapa banyak tisu kering ku habiskan, untuk menghapus air mataku. Entah berapa tetes air mata ini keluar, berapa lama wajahku murung tak tentu arah. Dan berapa kali aku melirik handphoneku berharap mendapat kabar darinya. Begitu menyayat-nyayat.

Mataku berkaca-kaca, dan tangispun keluar. Seakan meledak hati ini,
“maafkan aku, untuk yang lalu. semua janji manisku begitu saja aku ingkari. Aku berjanji bulan depan aku pulang untuk memberikan kado yang dari dulu kamu nantikan. Sekali lagi maafkan aku. Aku tahu aku salah, aku acuhkan kamu di saat kamu pedulilakan aku.”

Aku tak mampu berkata apa-apa lagi, karena memang tangisanku tak bisa ku hentikan. Handphone ku jatuhkan seketika itu, aku semakin mengingat masa lalu yang begitu menyedihkan bagiku, dan seakan-akan hadir dihadapanku lagi.
Ku raih kembali, hp ku, dan ku mulai bicara lagi dengannya, 

“sudahlah, yang lalu biarlah. Aku harap kamu lebih paham, akan seseorang yang selama ini pedulikan kamu, mengerti kamu, dan selalu menunggu kamu, tak kenal lelah untuk selalu menanti kedatanganmu. Satu hal yang harus kamu tahu, aku tersakiti oleh orang yang aku sayangi, bukankah aku mendapatkan hal yang setimpal dengan apa yang aku lakukan. Semoga kamu bisa merenungi hal ini!”

Ku usap air mataku ini, namun seakan tisu tak mampu menghapuskan. Mungkin karena begitu derasnya air mataku ini. Terdengar suaranya serak, dan isakan tangis,

“sayaaaang, maafkan aku selama ini mengacuhkanmu. Dan lebih pedulikan hal lain, dibandingkan orang yang selama ini memperdulikanku. Aku minta maaf! Aku salah, aku akui itu, aku tak mampu jika mendengarmu menangis hanya karena memikirkanku, maafkan aku!” begitu pintanya
“sudah, aku mencoba melupakan itu. Aku percaya kamu akan berubah,”
Tak mampu lagi aku berkata-kata, telepon langsung saja aku matikan, dan ku buang hp milikku,
“aaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhggggggggggggggg” aku berteriak

Tiba-tiba terdengar langkah yang semakin mendekat dari arah pintu kamarku,
“Salsa..”

Seseorang memelukku dari belakang, Aku bisa merasakannya, dia adalah sahabat terbaikku, Raima.
“Raima… aku..”
“husst.. aku sudah mendengarnya, jangan katakan apapun. Ini adalah kabar gembira untuk kamu, tak seharusnya kamu bersedih seperti ini. aku paham bagaimana kamu menantinya, aku tahu itu. Bersabarlah, setelah gelap akan hadir terang, tak ada salahnya jika kita selalu berharap terang akan segera tiba!”
“tapi aku takut, “ aku semakin mendekap erat Raima
“takut kenapa?” tanyanya dengan lembut
“takut di kecewakan lagi,”
“percayalah! Dia kan benar datang di hari spesial kamu nanti.! Dan aku akan selalu ada untukmu, belajarlah dari hal ini. kamu pasti akan lebih kuat ketika kamu sering terjatuh seperti ini!”

Aku hanya diam, ketika kata “percaya” dilontarkan, itulah kunci ku dalam menjalani hubungan kekasih ini. aku mampu bertahan karena aku memegang prinsip, walau itu terkadang menyakitkan, namun di sisi lain, aku bahagia karena ku bisa belajar lebih kuat mengahadapi dunia yang semakin panas ini.
“Raima.. makasih, kamu yang selalu mendukungku.”

Dia hanya tersenyum, dan mengusap air mataku dengan tangan lembutnya. Betapa bahagianya mendapatkan sahabat sepertinya, ada di saat keadaan apapun.
“sudahyah, jangan menangis lagi. Maukah kamu pergi denganku hari ini?”
“kemana?” tanyaku
“ke puncak bagaimana?”
“boleh, ayo kita pergi!”

Langkah kakiku seakan meyakinkan, bahwa kehidupanku akan segera terang. Aku berjalan menatap yakin dengan hari nanti. Dimana aku akan sangat bahagia, ketika aku bertemu dengan orang yang aku sayangi.

Setengah jam, sampai juga di puncak, terlihat sepi saat itu. Aku hanya menatap langit yang begitu cerah yang sudah di sambut senja, merasakan udara yang begitu mendamaikan, menghirup udara yang menyegarkan dan menenangkan, suara gemericik air sungai membawaku semakin tenang, dan damai. Hingga mata, ku tutup untuk lebih merasakan semua itu, ketika ku buka mata. Ku lihat sosok yang berada di depanku, bukanlah Raima, tapi sosok yang berbeda.

Rambutnya yang pendek, lurus, badannya yang tinggi, dan kulitnya yang putih sembari memegang alat lukis dan papan lukis. Aku mencoba mendekatinya, dan ku lihat betapa indahnya lukisan itu. Dimana aku baca lukisan itu adalah, keindahan cakrawala yang tiada duanya, di mana tergambar ada manusia seorang diri menatap senja dengan senyum terpaksa. Sepertinya sosok pria itu sangat menjiwai lukisannya.

Aku hanya menatap lukisan itu, semakin penasaran, aku lebih mendekat hingga sangat dekat. Namun tak sedetikpun aku melihat pria itu. Sampai aku tersentak kaget ketika dia memanggilku,
“hey, cantik”

Begitulah dia memanggil, sampai ke berapa panggilan aku baru menyadari,
“maafkan aku, aku terpesona dengan lukisan kamu. Bolehkan aku menyentuh lukisan mu?”

Dia hanya tersenyum. Aku merasa mendapatkan izin untuk menyentuhkan. Aku sentuh lukisan itu, mulai dari menyentuh seorang yang ada di lukisan itu, menyentuh senja dan cakrawala. Begitu luar biasa, imajinasi yang sempurna.
“luar biasa, aku bahagia melihat lukisan kamu. Begitu mendamaikan. Bolehkan aku bertanya sesuatu?”
“silahkan saja,” dia mempersilahkan begitu lembutnya
“mengapa di lukisan kamu, hanya ada seorang pria yang menatap senja dengan senyum terpaksa seperti itu?”
“kamu ingin tahu hal itu?”
“iya, tadi sudah coba ku tebak, namun sepertinya tidak ku temukan”
“baiklah, kalau kamu ingin tahu. Coba lihat seorang pria ini, dia menatap senja, dimana aku gambarkan dia adalah sosok pengecut, ketika dia menyayangi orang lain, dia tidak mampu untuk katakan sebenarnya, dan kamu tahu? Di lukisan inilah pria itu sebenarnya.”
“maksudnya? Aku semakin nggak ngerti?”
“iya, seperti itulah sebenarnya yang dia rasakan, kesendirian yang mendalam, karena tidak mampu meraba luas kehidupan ini. dia terlalu menutup dirinya, dia takut mengecewakan banyak orang, dia takut kembali menyakiti orang yang dia sayangi”
“apakah mungkin, pria itu kurang percaya diri dengan keberadaannya di dunia ini?”
“benar sekali” kata pria pelukis tadi

Aku hanya terdiam membisu, terbayangkan kekasihku yang jauh di sana, apa mungkin dia seperti pria di lukisan tadi. Apakah dia tak pernah kembali, karena dia takut. Hatiku bertanya-tanya, hingga aku tak sadar jika pria pelukis tadi menghilang.
“hey… kemana kamu pelukis hebat, aku belum selesai bicara? Bisakah kamu kembali?”

Begitulah aku berteriak keras, namun dia tak lagi datang menemuiku. Bahkan aku tak tahu siapa namanya. Aku sedikit menyesal akan hal itu, jika memang perlu, aku ingin bertanya lebih tentang pria di lukisan itu.
“Salsa….”panggil Raima
“ya ampun Raima, kamu kemana saja sih, aku cari dari tadi!”
“kamu juga sih yang nggak dengerin aku, kamu terlalu menikmati keindahan cakrawala ini, sampai aku bicarapun kamu nggak mendengarnya”
“begitukah? Maafkan aku kalau gitu”
“iya nggak papa, aku tadi ke bawah sebentar”
“ngapain?” tanyaku
“pipis” jawabnya pelan

Aku hanya tersenyum saja, seperti baru pertama bertemu saja. Raima masih malu-malu begitu.

Senja sudah menghilang, bulanpun akan segera menggantikan keindahannya, berharap malam akan berpihak padaku. Aku dan Raima harus segera pergi, dan memastikan keadaan baik-baik saja, senyum indah sudah terlihat di bibirku.  Begitulah kata Raima, sahabat terbaikku.

Setengah jam kemudian, sampai juga di rumah, ku hadapkan wajahku ke cermin besar di kamarku, rasanya lama sekali cermin itu tak pernah aku pakai. Di saat aku bercermin lagi, disana aku melihat keindahan senyuman di bibirku, seakan tidak percaya dengan semua ini. aku masih bertanya-tanya, apa arti senyuman ini, bahagia karena kekasihku kah, atau karena lukisan tadi yang masih banyak tanda tanya.

“Salsa, kamu begitu cantik kan jika tersenyum?” Raima mengagetkanku
“ah kamu bisa saja, aku masih sama seperti dulu. Wajah murung yang tidak akan berubah,”
Kataku sembari memalingkan wajahku dari cermin tadi. Lalu Raima mendekatiku dan dia memeluk erat tubuhku,
“Salsa, taukah kamu, selama ini aku baru melihat senyum indahmu itu, aku bahagia kamu bisa tersenyum kembali, aku bahagia”

Terdengar isakan tangis dari sahabatku itu, aku hanya terdiam menikmati keindahan persahabatan,

“Raima, maafkan aku selama ini aku tidak menyadari jika kamu menanti senyumanku. Aku tidak pernah sadar akan hal itu, maafkan aku terlalu melupakan hal ini, hingga membuatmu masuk kedalam dunia sedihku. Kamu sahabat terbaikku, takkan ku biarkan, kamu bersedih lagi hanya karenaku”

Seakan bulan memancarkan cahaya tepat di hatiku, ini begitu berharga bagiku, sebuah pelajaran besar bagiku, ada yang lebih peduli ketika kita memperdulikan orang yang sama sekali tidak pedulikan kita. Ada orang yang menanti keindahan ketika keindahan itu akan segera sirna dari kehidupanku.

Aku semakin terhanyut oleh malam itu, sepertinya malam berada di pihakku. Aku bahagia. Berapa minggu yang lalu, kekasihku hadir dengan janji yang lebih menjanjikan. Dan besok adalah hari spesialku, sampai detik ini, belum ada lagi kabar dari nya, aku tidak mengerti dengannya. Aku sudah berharap, dan aku sangat percaya dia akan datang. Di hari spesialku nanti.

Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, ku nantikan kedatangannya, tidak hadir pula ketika hari spesial tiba. Aku masih tetap berharap, aku berpikir dia sedang di jalan dan belum sempat sampai disini.

Aku masih duduk menatap cakrawala yang begitu indahnya di balik jendala yang indah penuh dengan foto-fotonya, terlebih satu foto yang di ambil dari beberapa tahun lalu, ketika aku dan dia masih sangat dekat dan lengket.
Aku sentuh foto-foto itu, kerinduan yang selama ini menyiksaku, berharap akan segera berharap. Aku masih percaya, jika dia pasti datang, dan aku tak mau berpikir negatif tentangnya.
Raima datang dengan kue yang begitu indah, bertuliskan “Selamat Ulang Tahun Salsa yang ke-20 keep smile”. Membuatku sedikit bahagia tentang hal ini, tidak ada yang berbeda dengan tahun kemarin, hanya Raima yang membuatku tak kesepian.
Penantianku hari itu tak membuahkan hasil, sampai mataku terpejam tidur, lelah dan sungguh lelah. Aku berpikir akan lebih baik jika aku akan menunggunya lebih lama,

“Salsa.. sudahlah, di hari spesial kamu, tidak usah kamu memikirkan dia. 

Bagaimana kalau kita pergi ke puncak lagi?”
“bukan ide yang bagus Raima, kali ini aku akan lebih lama menunggu”
Terlihat Raima menunduk, dan dia pergi entah kemana. Aku masih tetap menunggunya, aku percaya dia pasti datang. Namun hingga malam dan pagi akan segera datang kembali, aku belum juga melihat batang hidungnya di hadapanku.

Aku tatap lagi foto-foto dia, dan aku tak kuasa membendung air mata ini,
“kaaammuuuuuuuuuuuuu, mengecewakan aku lagi”
Tak peduli apa yang ada di kamarku, ingin rasanya ku banting semua isi kamarku sebagai ganti aku yang tersakiti. Sekian kali dia menyakitiku, membuatku menunggu lama, namun pada akhirnya dia jatuhkanku. Sekarang luka ini tidak akan terobati.

Aku tidak tahu, di sela-sela amarahku, rasa sayang dan cinta yang ada semakin kuat dan menambah semua ini semakin menyakitkan. Apa yang harus aku lakukan, tak bisa lagi aku hubungin nomernya, karena dia begitu saja ganti nomer dan tidak mengabariku. Apa arti dari ini semua, aku masih tidak tahu, apa yang dia inginkan sebenarnya, apa aku punya salah besar terhadapnya. Mengucapkan “selamat” di hari ulang tahunku pun tidak, apa dia mencoba melupakanku, apa dia lupa dengan semua kenangan indah yang selama ini dia ukir bersamaku, dengan ketulusan cinta dan kesetiaan. Apa dia menghilang di telan bumi bersama kenangan cinta kita, hingga dia begitu mudahnya mengacuhkan aku dan mencoba untuk selalu menyakitiku.

Kali ini aku benar-benar tidak bisa apa-apa, aku lemah. Dan ku putuskan untuk menuliskan sebuah puisi, dan berharap dia akan membacanya di sana, akan ku kirim ke alamatnya di Jakarta. 

Tersenyumlah saat kau mengingatku
Karena saat itu aku sangat merindukanmu
Dan menangislah saat kau merindukanku
Karena saat itu aku tak berada di sampingmu
Tetapi pejamkanlah mata indahmu itu
Karena saat itu aku akan terasa ada di dekatmu
Karena aku telah berada di hatimu untuk selamanya
Tak ada lagi yang tersisa untukku
Selain kenangan indah bersamamu
Mata indah yang begitu ku rindukan
Mata indah yang dahulu milikku
Sekarang terasa jauh meninggalkanku
Bagaimana mungkin aku terbang mencari cinta yang lain
Ketika sayapku patah karenamu
aku akan selalu merindukanmu
dan berharap Tuhan akan kembali menyatukan kita
membawa ke langit melihat cakrawala
kau takkan pernah terganti
hingga tangan Tuhan yang akan memisahkan
Tag : cerpen, Rahma
0 Komentar untuk "Izinkan Aku Sedetik Bahagia"

Back To Top