Semburat Kisah di Sudut Kota
oleh
Siti Rahimah
Tripepa.com|Hari itu kali pertama aku melihatmu begitu berkharisma, mungkin sucinya air Wudhu membuat wajahmu sore itu terlihat bebeda dari biasanya, begitu bercahaya. “Calon imam masa depan” gumamku tak terkendali. Sejak saat itu wajahmu itu bagai menghipnotisku dikala aku dan kamu berpapasan disebuah mushola sederhana yang terletak di kampus. Kejadian di mushola bukanlah kali pertama aku melihatnya, kami adalah mahasiswa dengan jurusan yang sama hanya saja berbeda kelas tetapi jika ada matakuliah yang sama tidak jarang kami berada di satu ruangan yang sama. Mungkin aku baru menyadari kehadirannya setelah kejadian di mushola tersebut.
Namanya Al Fatih, lelaki yang pernah mengecap pendidikan disalah satu kampus dengan jurusan teknik arsitektur dan sekarang mengecap pendidikan yang bersinggungan dengan pariwisata, sungguh dia telah membuatku terpaku. Selain itu keahliannya dalam ilmu pasti matematika, penyayang anak-anak sehingga membuat dia memutuskan untuk mengajar di salah satu TK di kota pelajar ini membuatku merasa dia adalah paket komplit. Disisi lain dia juga menggeluti dunia masak dan ahli dalam membuat beberapa hidangan penutup dan berbagai jenis roti. Hobi olahraga yang dia miliki membuat dia menjadi salah satu pengajar karate di kampus. “Lalu apalagi alasan ku untuk tidak mengagumi makhluk Allah yang sangat luar biasa ini?” batinku mencari pembenaran. Beberapa hari setelah insiden di mushola itu, hati ini semakin melunjak saja. Ntah apa yang membuat aku semakin ingin mengenalnya lebih jauh. Tapi aku bergumam dalam hati, mengingatkan diri sendiri “duhai hati, siapkah kau tuk jatuh hati lagi?”.
Hari-hari berlalu, aku dan Fatih sudah lebih dekat dari sebelumnya, aku sering bertanya tentang ilmu pasti karena aku sangat lemah dalam menterjemahkan pelajaran matematika, sesederhana apapun matematika, ya itu tetap rumit menurutku. Sejujurnya aku malu, lima belas tahun duduk dibangku sekolah sekelas sin cos dalam matematika saja tidak dapat dipecahkan olehku, misteri matematika yang mulai menjadi awal kedekatan aku dengannya sepertinya. Di awal awal kedekatan kami, dia begitu sangat hangat bahkan sering bersenda gurau dengan ku yang memang memiliki rasa humor. Aku bertanya sesuatu, dia pun menanggapinya dengan senyuman khas di bibir. “Fat, aku kali ini masih bisa minta tolong kamu kan ?”, tanyaku ketika jam kuliah kami bubar. “Minta tolong apa Dew ?”, tanya lelaki itu sembari menjawab nama panggilan ku Dewi. “Biasa.. bantu aku mengerjakan mata kuliah Algoritma. Tau sendiri kan aku susah banget mengerjakan mata kuliah itu. Hehehe..”jawab ku sembari membalas senyum tulusnya. “Ampun deh Dew. Kamu itu aneh ya. Cukup aneh menurutku. 15 tahun di bangku sekolah, kamu gak bisa sama sekali mengerjakan matematika yang simple itu ? Algoritma kan dasarnya matematika..” ledek fatih yang masih menahan tawa. “Terus aja di ledekin. Niatnya mau bantuin apa enggak sih kamu itu,” jawabku sambil menahan emosi namun memasang tampang tersenyum.
Akhirnya, Fatih pun menjadi temanku diskusi seharian itu. Aku gak tahu apa yang sedang Tuhan skenario kan buat aku dengan dia. Hanya saja, setiap gelak tawanya, suara bulatnya, senyumnya, bahkan sorot matanya telah mampu menghipnotis aku untuk kembali mengagumi makhluk indah ciptaan Tuhan ini. Bahkan, ketika sampai di ujung percakapan kami hari itu, matahari mulai tenggelam. Semburat senja pun mengukir indah dalam pendaran kami berdua. “Dew, gimana mau aku antarkan kamu pulang apa enggak ? Gak tega aku ngeliat anak cewek pulang sendiri maghrib-maghrib begini,”tawarnya mengulurkan senyum penuh ketulusan. Sesaat, aku terpesona dengan tatapannya yang teduh dan disinari senja yang semakin menambah ketampanan lelaki ini di hadapanku. “Hm.. boleh, gak ngerepotin kan,” jawabku mengetes apakah dia tulus mengantarkan ku pulang ke tempat kos ku. Dia hanya mengangguk simpul lalu memberikan sebuah helm untukku. Tak lama setelah itu, deru sepeda motor menjadi pemisah yang membuat kami diam tak bersuara hingga depan pintU gerbang kos ku. Aku lalu mengucapkan terima kasih, dan dia hanya tersenyum. Senyum khas yang membuat aku kembali pada sebuah perasaan itu.
Saat berada di dalam kamar, aku langsung mandi dan sholat maghrib. Setelah itu, aku duduk termenung memikirkan apa yang sedang terjadi antara aku dan dirinya. Hubungan ini rasanya sudah terlalu jauh. Kami saling mengenal dan kedekatan kami sekarang bukan hanya sebatas teman kuliah saja, tapi sudah menjadi sepasang teman dekat yang saling bertukar cerita kapan saja. Aku tahu, lelaki itu begitu tertutup. Sangat sopan dan menjaga diri dari pergaulan global yang kini sedang merajalela di kalangan Perguruan Tinggi. Tapi, dibalik sifat tertutupnya, aku sadar dia memiliki sesuatu yang tak dimiliki oleh orang lain. Kesantunan dalam bersikap, perlakuan dia kepada wanita membuat aku merasa bahwa kali aku benar-benar jatuh cinta. Selanjutnya, hari demi hari yang kami lalui dengan intensitas kedekatan yang semakin dekat, nyaris membuat aku takluk dengan semua rasa yang ada dalam jiwa. Alhamdulillah, aku masih bisa menjaga kesucian hati ini.
Namun, beberapa hari terakhir aku jarang mendapatinya dalam lingkungan kampus kami. Entah karena dia sibuk atau apapun aku tidak tahu. Tapi, disaat aku akan menuju perpustakaan kampus, dia sedang bersenda akrab dengan seorang wanita sesama anak kampus kami. Aku tak tahu siapa namanya. Mungkin temannya, batinku. Lalu, tanpa berpikir panjang aku pun ke perpustakaan melarikan diri dari sebuah kenyataan bahwa mungkin rasa ini bertepuk sebelah tangan. Namun, aku langsung menepis prasangka buruk dalam hatiku dan meneguhkan diri bahwa dia bukan siapa-siapa ku saat ini. Jadi, wajar saja dengan keakraban mereka yang terlihat mesra di hadapan ku baru saja. Hingga beberapa waktu ke depannya, mereka lebih sering berjalan bersama dan terlihat serasi sebagai pasangan. Aku pun berusaha acuh padanya. Hingga aku menerima surat dari kampus ku dan aku dinyatakan lolos dalam seleksi penelitian “Pertukaran Pelajar ke Negeri Thailand”. Berita bahagia itu bahkan sampai di telinga Fatih, lelaki yang hingga kini masih menjadi raja dalam hati. “Selamat ya Dewi.. hahaha.. akhirnya kamu juga yang berangkat. I am proud of you,”ujarnya begitu kami berpapasan di depan kantin selepas jam istirahat. “Makasi ya Fat.. Tapi, kamu kemana sih akhir-akhir ini kok sering ngilang ?”, telisikku ingin tahu. “Maaf Dew, aku sibuk sama proyek jurnal pariwisata. Lagi dapat teman tim yang lucu banget anaknya. Itu tuh yang sering jalan sama aku, si Lia,”jawabnya panjang lebar menjelaskan kesibukannya hingga menyebut nama wanita yang akhir-akhir ini menjadi kawan dekatnya. “Oalah.. Namanya Lia. Maaf Fat, aku nggak tahu nama cewek itu,” ujar ku berusaha menyembunyikan rasa ketidak nyamanan dalam percakapan kami. “Dia teman satu kelas ku Dew. Sering dapat kerjaan bareng, makanya bisa klop begitu,” jawabnya dengan mata berbinar. Aku pun hanya mengiyakan dan pamit lalu berlalu dari hadapannya.
Begitu aku sampai di kosan, tak terasa air mata mengalir dari kelopak mataku. Air mata rasa kecewa nampaknya. Tak bisa kulukiskan dengan kata kata namun hanya terisak begitu terngiang kalimat demi kalimat yang terucap dari bibir indahnya tentang dia, wanita yang sudah terlebih dulu hadir dalam hidupmu. Lalu, kuusap air mataku dan kuambil sebuah buku yang berada di atas meja belajar kosanku. Ingin rasanya cerita, namun aku tak tahu harus menceritakannya kepada siapa.
Namanya Al Fatih, lelaki yang pernah mengecap pendidikan disalah satu kampus dengan jurusan teknik arsitektur dan sekarang mengecap pendidikan yang bersinggungan dengan pariwisata, sungguh dia telah membuatku terpaku. Selain itu keahliannya dalam ilmu pasti matematika, penyayang anak-anak sehingga membuat dia memutuskan untuk mengajar di salah satu TK di kota pelajar ini membuatku merasa dia adalah paket komplit. Disisi lain dia juga menggeluti dunia masak dan ahli dalam membuat beberapa hidangan penutup dan berbagai jenis roti. Hobi olahraga yang dia miliki membuat dia menjadi salah satu pengajar karate di kampus. “Lalu apalagi alasan ku untuk tidak mengagumi makhluk Allah yang sangat luar biasa ini?” batinku mencari pembenaran. Beberapa hari setelah insiden di mushola itu, hati ini semakin melunjak saja. Ntah apa yang membuat aku semakin ingin mengenalnya lebih jauh. Tapi aku bergumam dalam hati, mengingatkan diri sendiri “duhai hati, siapkah kau tuk jatuh hati lagi?”.
Hari-hari berlalu, aku dan Fatih sudah lebih dekat dari sebelumnya, aku sering bertanya tentang ilmu pasti karena aku sangat lemah dalam menterjemahkan pelajaran matematika, sesederhana apapun matematika, ya itu tetap rumit menurutku. Sejujurnya aku malu, lima belas tahun duduk dibangku sekolah sekelas sin cos dalam matematika saja tidak dapat dipecahkan olehku, misteri matematika yang mulai menjadi awal kedekatan aku dengannya sepertinya. Di awal awal kedekatan kami, dia begitu sangat hangat bahkan sering bersenda gurau dengan ku yang memang memiliki rasa humor. Aku bertanya sesuatu, dia pun menanggapinya dengan senyuman khas di bibir. “Fat, aku kali ini masih bisa minta tolong kamu kan ?”, tanyaku ketika jam kuliah kami bubar. “Minta tolong apa Dew ?”, tanya lelaki itu sembari menjawab nama panggilan ku Dewi. “Biasa.. bantu aku mengerjakan mata kuliah Algoritma. Tau sendiri kan aku susah banget mengerjakan mata kuliah itu. Hehehe..”jawab ku sembari membalas senyum tulusnya. “Ampun deh Dew. Kamu itu aneh ya. Cukup aneh menurutku. 15 tahun di bangku sekolah, kamu gak bisa sama sekali mengerjakan matematika yang simple itu ? Algoritma kan dasarnya matematika..” ledek fatih yang masih menahan tawa. “Terus aja di ledekin. Niatnya mau bantuin apa enggak sih kamu itu,” jawabku sambil menahan emosi namun memasang tampang tersenyum.
Akhirnya, Fatih pun menjadi temanku diskusi seharian itu. Aku gak tahu apa yang sedang Tuhan skenario kan buat aku dengan dia. Hanya saja, setiap gelak tawanya, suara bulatnya, senyumnya, bahkan sorot matanya telah mampu menghipnotis aku untuk kembali mengagumi makhluk indah ciptaan Tuhan ini. Bahkan, ketika sampai di ujung percakapan kami hari itu, matahari mulai tenggelam. Semburat senja pun mengukir indah dalam pendaran kami berdua. “Dew, gimana mau aku antarkan kamu pulang apa enggak ? Gak tega aku ngeliat anak cewek pulang sendiri maghrib-maghrib begini,”tawarnya mengulurkan senyum penuh ketulusan. Sesaat, aku terpesona dengan tatapannya yang teduh dan disinari senja yang semakin menambah ketampanan lelaki ini di hadapanku. “Hm.. boleh, gak ngerepotin kan,” jawabku mengetes apakah dia tulus mengantarkan ku pulang ke tempat kos ku. Dia hanya mengangguk simpul lalu memberikan sebuah helm untukku. Tak lama setelah itu, deru sepeda motor menjadi pemisah yang membuat kami diam tak bersuara hingga depan pintU gerbang kos ku. Aku lalu mengucapkan terima kasih, dan dia hanya tersenyum. Senyum khas yang membuat aku kembali pada sebuah perasaan itu.
Saat berada di dalam kamar, aku langsung mandi dan sholat maghrib. Setelah itu, aku duduk termenung memikirkan apa yang sedang terjadi antara aku dan dirinya. Hubungan ini rasanya sudah terlalu jauh. Kami saling mengenal dan kedekatan kami sekarang bukan hanya sebatas teman kuliah saja, tapi sudah menjadi sepasang teman dekat yang saling bertukar cerita kapan saja. Aku tahu, lelaki itu begitu tertutup. Sangat sopan dan menjaga diri dari pergaulan global yang kini sedang merajalela di kalangan Perguruan Tinggi. Tapi, dibalik sifat tertutupnya, aku sadar dia memiliki sesuatu yang tak dimiliki oleh orang lain. Kesantunan dalam bersikap, perlakuan dia kepada wanita membuat aku merasa bahwa kali aku benar-benar jatuh cinta. Selanjutnya, hari demi hari yang kami lalui dengan intensitas kedekatan yang semakin dekat, nyaris membuat aku takluk dengan semua rasa yang ada dalam jiwa. Alhamdulillah, aku masih bisa menjaga kesucian hati ini.
Namun, beberapa hari terakhir aku jarang mendapatinya dalam lingkungan kampus kami. Entah karena dia sibuk atau apapun aku tidak tahu. Tapi, disaat aku akan menuju perpustakaan kampus, dia sedang bersenda akrab dengan seorang wanita sesama anak kampus kami. Aku tak tahu siapa namanya. Mungkin temannya, batinku. Lalu, tanpa berpikir panjang aku pun ke perpustakaan melarikan diri dari sebuah kenyataan bahwa mungkin rasa ini bertepuk sebelah tangan. Namun, aku langsung menepis prasangka buruk dalam hatiku dan meneguhkan diri bahwa dia bukan siapa-siapa ku saat ini. Jadi, wajar saja dengan keakraban mereka yang terlihat mesra di hadapan ku baru saja. Hingga beberapa waktu ke depannya, mereka lebih sering berjalan bersama dan terlihat serasi sebagai pasangan. Aku pun berusaha acuh padanya. Hingga aku menerima surat dari kampus ku dan aku dinyatakan lolos dalam seleksi penelitian “Pertukaran Pelajar ke Negeri Thailand”. Berita bahagia itu bahkan sampai di telinga Fatih, lelaki yang hingga kini masih menjadi raja dalam hati. “Selamat ya Dewi.. hahaha.. akhirnya kamu juga yang berangkat. I am proud of you,”ujarnya begitu kami berpapasan di depan kantin selepas jam istirahat. “Makasi ya Fat.. Tapi, kamu kemana sih akhir-akhir ini kok sering ngilang ?”, telisikku ingin tahu. “Maaf Dew, aku sibuk sama proyek jurnal pariwisata. Lagi dapat teman tim yang lucu banget anaknya. Itu tuh yang sering jalan sama aku, si Lia,”jawabnya panjang lebar menjelaskan kesibukannya hingga menyebut nama wanita yang akhir-akhir ini menjadi kawan dekatnya. “Oalah.. Namanya Lia. Maaf Fat, aku nggak tahu nama cewek itu,” ujar ku berusaha menyembunyikan rasa ketidak nyamanan dalam percakapan kami. “Dia teman satu kelas ku Dew. Sering dapat kerjaan bareng, makanya bisa klop begitu,” jawabnya dengan mata berbinar. Aku pun hanya mengiyakan dan pamit lalu berlalu dari hadapannya.
Begitu aku sampai di kosan, tak terasa air mata mengalir dari kelopak mataku. Air mata rasa kecewa nampaknya. Tak bisa kulukiskan dengan kata kata namun hanya terisak begitu terngiang kalimat demi kalimat yang terucap dari bibir indahnya tentang dia, wanita yang sudah terlebih dulu hadir dalam hidupmu. Lalu, kuusap air mataku dan kuambil sebuah buku yang berada di atas meja belajar kosanku. Ingin rasanya cerita, namun aku tak tahu harus menceritakannya kepada siapa.
Dear Diary..
Wahai kamu, lelaki pujaan hati,
Semenjak kehadiranmu pertama kali dalam sudut mata,
Terngiang manis dan manja percakapan kita,
Di akhir sudut kota, kisah senja menjadi saksi perjalanan aku dan dirimu..
Wahai Kamu, namamu terukir indah dalam sketsa mimpiku,
Ada bait bait terindah dalam simfoni hidupku yang pernah aku ukir bersamamu,
Detik demi detik, Waktu pun berlalu..
Kebersamaan ini semakin mendekat menjadi sebuah bias kisahku,
Lentera namamu dalam bait aksaraku,
Seolah telah memenangkan jiwa dan hatiku ‘tuk jatuh hati padamu..
Wahai kamu.. Aku tak tahu.. Apa arti rasa ku untukmu,
Namun bersamamu aku merasa kaulah lelaki idamanku,
Calon imam dan bagian dari separuh masa depanku..
Semoga kelak nama mu lah yang akan menjadi akhir dari cerita hidupku
Bagiku, curahan hati bisa kutuang dalam apa saja untuk melukiskannya. Namun, aku lebih memilih mencurahkannya kedalam bait bait kata di buku pena. Sudahlah.. Sekarang, fokusku adalah mempersiapkan diri untuk menimba ilmu 3 minggu lamanya di Thailand. Sebuah negara yang sudah lama kukagumi karena keindahan alamnya dan akulturasi budaya yang sangat mempesona. Namun, aku tak menyangka ternyata Fatih mengantarkan aku ke bandara. Dikala keberangkatanku, dia menelpon ku dan menawarkan untuk mengantarkan aku. “Dewi.. Aku antar kamu ke bandara ya. Aku pengen banget melambaikan tangan ke kamu saat pesawatnya mengudara,” rayunya dengan nada khasnya karena aku sebal belakangan terakhir jarang menghabiskan waktu bersamanya. Ini aku lakukan karena aku tidak mau mengganggu dia saat sedang bersama yang lain. “Iya deh, boleh. Hitung-hitung gratis,” senyumku menjawab tawarannya. Lalu, berangkatlah kami berdua menuju bandara yang cukup jauh dari tempat kos ku. Perjalanan ku kali ini ke bandara memakan waktu 1 jam lebih. Namun, sepanjang perjalanan ada gelak tawa kami yang menyelingi sehingga membuat aku merasa 1 jam ini adalah hadiah dari Tuhan disaat hati sedang merindukan sosok yang bisa membuat ku merasa nyaman. Perasaan sebal dan sedikit marah ku dengan Fatih, akhirnya memudar perlahan seiring dengan sikap manja dan mesra yang ditunjukkan sebagai seorang sahabat dekat. “Dew, maaf ya.. Aku cuman bisa mengantarkan kamu sampai sini. Hati-hati di Thailand. Ingat jalan pulang ya. Kalau sudah sampai di Thailand, kasih kabar sama orang tua kamu. Sama aku juga ya,” ujarnya saat berada di depan check-in. “Iya. Insyaallah ya Fat. Makasi buat doanya,” jawabku singkat sambil tersenyum. Aku lalu masuk dan dia pun melambaikan tangan kepadaku pertanda perpisahan. Aku membalasnya dengan berusaha tersenyum kepadanya, menunjukkan ketegaran ku sebagai seorang wanita. 4 jam perjalanan pun aku berada di atas pesawat. Masih teringat dengan ucapan perpisahan kepadanya dan aku pun berjanji kalau aku akan menghubunginya begitu sampai di Thailand.
Saat sudah mendarat, dan setelah aku ambil bagasi ku di ruang bagasi, aku keluar dari bandara dengan rasa haru. Seolah masih belum percaya dengan apa yang sudah aku jalani sekarang, aku pun sempat berdegum kencang ketika melihat tulisan bertulis “Welcome to Thailand”. Kupenuhi janjiku pada Fatih, dan kuhubungi dia saat aku sudah berada di dalam kamar hotel. Tak lupa pula, aku sudah berniat pada diriku sendiri akan memberikan sebuah kenang-kenangan pertanda persahabatan dariku.
Tiga minggu bagiku terasa sanat cepat. Aku pun pulang dan dia pun kembali menjemput ku di bandara. Kuberikan sebuah bingkisan padanya, dan dia hanya mengucapkan, “Makasi ya.. Kamu gak perlu repot-repot. Makasi udah ingat.” Yang hanya kujawab, “Sama-sama. Itu adalah kenang-kenangan buat kamu. Makasi ya.. Buat selama ini,” senyumku yang dibalas dengan senyumnya yang begitu meneduhkan mata. 3 bulan setelah dari Thailand, intensitas kami pun tetap sama. Hanya saja terkadang, Fatih lebih sibuk dengan mega proyeknya bersama dengan Lia, teman satu kelasnya. Tak lama setelah itu, waktu KKN pun tiba. Keberangkatan KKN ku ke Bali dan pun dia ke Samarinda, seolah menjadi waktu akhir bagi pertemuan kami berdua. Hanya lambaian tangan tanda perpisahan dan kata-kata, “Hati-hati disana”, menjadi akhir dari pertemuan kami di bandara. 1 bulan berpisah dan disaat kami kembali di kota yang sama sepulang dari KKN, Fatih seolah tak kutemukan lagi dalam sudut sudut bingkai ceritaku. Aku tahu dengan segudang kesibukannya, tapi sepulangnya dari Samarinda dia bagaikan hilang di telan keriuhan kota.
Dan, dikamar kos pula, ku ambil buku diary yang tergeletak di meja. Kucurahkan segala isi hati yang mulai menggerogoti nurani.
Setelah aku menulis, aku lalu sholat dan kembali tenggelam dalam kesibukan ku sebagai mahasiswa semester akhir. Hari demi hari pun berganti. Lalu, pada suatu waktu aku bertemu dengan teman ku yang aku kenal dari ekspedisi ku ke Negeri Gajah. Silvi namanya. Dia anak jurusan konseling di kampus dan sering sekali menjadi konseling bagi teman-teman sejawatnya. Dan, saat sampai kepadaku, dia pun mengatakan kalimat demi kalimat yang seolah menjadi akhir dari sebuah rasa ku untuk Fatih. Dia mengatakan kalau Lia sudah terlebih dulu hadir dalam kehidupan dia, dan memang Fatih ada rasa untuknya. Begitu selesai mendengar perkataan Silvi, aku langsung pamit pulang ke kos dan menuju kamar dengan perasaan remuk redam.
Saat sudah mendarat, dan setelah aku ambil bagasi ku di ruang bagasi, aku keluar dari bandara dengan rasa haru. Seolah masih belum percaya dengan apa yang sudah aku jalani sekarang, aku pun sempat berdegum kencang ketika melihat tulisan bertulis “Welcome to Thailand”. Kupenuhi janjiku pada Fatih, dan kuhubungi dia saat aku sudah berada di dalam kamar hotel. Tak lupa pula, aku sudah berniat pada diriku sendiri akan memberikan sebuah kenang-kenangan pertanda persahabatan dariku.
Tiga minggu bagiku terasa sanat cepat. Aku pun pulang dan dia pun kembali menjemput ku di bandara. Kuberikan sebuah bingkisan padanya, dan dia hanya mengucapkan, “Makasi ya.. Kamu gak perlu repot-repot. Makasi udah ingat.” Yang hanya kujawab, “Sama-sama. Itu adalah kenang-kenangan buat kamu. Makasi ya.. Buat selama ini,” senyumku yang dibalas dengan senyumnya yang begitu meneduhkan mata. 3 bulan setelah dari Thailand, intensitas kami pun tetap sama. Hanya saja terkadang, Fatih lebih sibuk dengan mega proyeknya bersama dengan Lia, teman satu kelasnya. Tak lama setelah itu, waktu KKN pun tiba. Keberangkatan KKN ku ke Bali dan pun dia ke Samarinda, seolah menjadi waktu akhir bagi pertemuan kami berdua. Hanya lambaian tangan tanda perpisahan dan kata-kata, “Hati-hati disana”, menjadi akhir dari pertemuan kami di bandara. 1 bulan berpisah dan disaat kami kembali di kota yang sama sepulang dari KKN, Fatih seolah tak kutemukan lagi dalam sudut sudut bingkai ceritaku. Aku tahu dengan segudang kesibukannya, tapi sepulangnya dari Samarinda dia bagaikan hilang di telan keriuhan kota.
Dan, dikamar kos pula, ku ambil buku diary yang tergeletak di meja. Kucurahkan segala isi hati yang mulai menggerogoti nurani.
Teruntuk kamu,
Lelaki yang pernah ada dalam hidupku..
Wahai kamu, Aku tak tahu lagi dimana kini keberadaanmu,
Seolah hilang ditelan renjana dan keriuhan sudut sudut kota,
Tak kudapati lagi namamu dan kisahmu dalam penggalan cerita,
Perpisahan kita sebulan lamanya, seolah telah mengikis waktu diantara kita..
Aku berada di sana dan kaupun berada di tanah yang tak bisa kugapai kisahnya..
Wahai kamu.. Lelaki bermata indah.
Sayup-sayup suaramu tak lagi terdengar indah dalam jepretan kenanganku,
Hanya ada kisah kita, kisah kehidupan berdua yang menjadi masa lalu,
Tak lagi kubisa temui dirimu meski hanya secuil waktu,
Wahai kamu.. Taukah apa arti rasa rindu yang kini bergejolak dalam hatiku,
Rindu akan canda tawamu, Rindu akan kebersamaan kita dimasa lalu..
Berbulan-bulan kupendam rasa ini, namun tampaknya kau tak juga menjadi raja dalam singgasana hati,
Alunan melodi dan kisah kasih seolah menjadi saksi bahwa kau mencabik rasa yang kini teruntuk mu di belahan bumi manapun kau pijaki,
Aku mencintaimu.. Dalam barisan waktu dan pena aksaraku.
Aku mencintaimu.. Karena aku ingin kaulah yang menjadi kawan hingga akhir hidupku.
Datanglah kembali, isilah hati ini dengan senyum manismu seperti dulu lagi..Dari Aku, Wanita yang merindukanmu.
Setelah aku menulis, aku lalu sholat dan kembali tenggelam dalam kesibukan ku sebagai mahasiswa semester akhir. Hari demi hari pun berganti. Lalu, pada suatu waktu aku bertemu dengan teman ku yang aku kenal dari ekspedisi ku ke Negeri Gajah. Silvi namanya. Dia anak jurusan konseling di kampus dan sering sekali menjadi konseling bagi teman-teman sejawatnya. Dan, saat sampai kepadaku, dia pun mengatakan kalimat demi kalimat yang seolah menjadi akhir dari sebuah rasa ku untuk Fatih. Dia mengatakan kalau Lia sudah terlebih dulu hadir dalam kehidupan dia, dan memang Fatih ada rasa untuknya. Begitu selesai mendengar perkataan Silvi, aku langsung pamit pulang ke kos dan menuju kamar dengan perasaan remuk redam.
Aku hampir saja lupa kamu itu milikNYA, aku hampir saja lupa Allah yang mengatur dengan siapa kita berjodoh. Tapi dalam setiap do’aku aku selalu menyebut namamu, dalam setiap sujudku selalu namamu yang memenuhi permohonan dalam diamku., aku selalu memintaNya agar menjaga keistiqamahanmu dalam menyembahNya.
Wahai kamu, Terima kasih, untuk semua kisah yang pernah kau tuangkan untukku. Terima kasih untuk semua kehangatan dan kebersamaan yang pernah kau hadirkan dalam selembar kisah ceritaku. Terimakasih telah mengajarkanku arti kesabaran, tetap tersenyum dengan prasangka buruk orang. Maafkan aku yang tak berdaya untuk semua rasa yang pernah ada. Aku tahu kau mungkin lebih berbahagia bersamanya. Bukan bersama aku, orang yang hanya sekejap lalu pergi dari hidupmu. Kini, aku tak mau lagi terpenjara oleh rasa kepadamu. Cukup sudah semua rasa yang pernah aku ukir hanya kepadamu, kini tampaknya harus lenyap bersama dengan akhir pilu kisah aku dan dirimu. Maafkan aku yang belum bisa menjadi sesempurna seperti yang kamu mau. Terima kasih untuk secercah senyum dan tawa yang kau tinggalkan dalam palung sanubari hatiku.. Jika Allah tidak lagi mempertemukan kita, terimakasih telah singgah. Biarkan rasa ini hilang terpendar dalam waktu hingga akhirnya aku bertemu dengan yang dipersiapkan Tuhan untukku...
Aku, Yang Pernah Mencintaimu..
Dan, mungkin inilah akhir dari semua kisah antara aku dengan dia. Terima kasih untuk semua kisah dan kasih yang pernah kamu torehkan dalam sebaris jejak perjalanan hidupku.
Dan, mungkin inilah akhir dari semua kisah antara aku dengan dia. Terima kasih untuk semua kisah dan kasih yang pernah kamu torehkan dalam sebaris jejak perjalanan hidupku.
Tentang Penulis:
Nama : Siti Rahimah
Fb : Siti Rahimah
Emai : siti.rahimah2207@gmail.com
Mahasiswa Semester Akhir jurusan Pariwisata di STIPRAM Jogjakarta
0 Komentar untuk "Semburat Kisah di Sudut Kota"