Ibuku Pergi Di Saat Ramadhan Tiba



           “Pulanglah. Sakit ibu semakin parah ka, dokter bilang mungkin umur ibu tidak lama lagi”
 
Wajah penuh asa nan tegang ini menghela nafas.

Sekali dua kali, lebih panjang dan lebih berat. Membaca pesan itu entah untuk berapa kali lagi, pelan melihat wajah yang penuh linangan air mata, ibu yang terbaring lemah di hadapanku, mengangguk dan berbisik lembut: “tolong jangan kasih tahu kakamu, ibu baik-baik saja di sini nak, ibu mohon”

Malam yang gelap gulita, pancarkan sinar dari rembulan, menemani kesedihanku, harus menutupi rasa sakit yang ibu rasakan. Aku yang anak bungsu, harus merawat ibu yang sakit keras, sudah sebulan ini, aku menutupi sakit ibu dari kakaku. Kakaku kerja di Jakarta, dia sudah bersuami dan dikarunia anak. Tidak sepantasnya aku menyembunyikan semua ini kepada kakaku sendiri, tapi ibu melarangku angkat bicara.

Ibu sudah berobat di Rumah Sakit Umum di Cirebon, kata dokter ibu sakit kanker rahim, yang sudah stadium 4. Sebulan yang lalu, sakit ibu ketahuan, saat ibu pingsan tak berdaya, sampai beberapa hari. Tapi sampai saat ini, kakak kandungku belum juga tahu keadaan ibu. Ibu melarang karena ibu ngga mau kalau kakaku tahu. Beliau takut merepotkan.

Sejak kami berada di Rumah sakit, hari-hariku tak bermakna, kuhabiskan hari-hariku dengan ibuku tercinta. 

Senja pagi ini, ku buka jendela kamar inap ibu, ku pandangi taman disekitar  RS, ku pandangi daun-daun. Ibu masih terlelap tidur. Aku berpikir untuk menyampaikan kabar menyakitkan ini kepada kakaku. Ku beranikan diri, semua ini demi ibu, tak sanggup rasanya, kalau aku seorang diri merawat ibu, dan ibu pasti membutuhkan belaian kasih sayang kakaku. Hanya lewat telpon aku bisa menyampaikan kabar ibu.

“assalamu’alaikum ka,”

“wa’alaikumsalam ade, tumben pagi-pagi telpon kaka, ada apa sayang?”

Kakaku orangnya penyayang, apalagi punya ade cuma aku, tapi kami jarang bertemu, karena kesibukannya di Jakarta.

“kaa... gimana kabarnya?” tanyaku dengan menghiraukan pertanyaannya

“alhamdulillah baik de, kok ngga dijawab sayang? Ada yang ingin kamu sampaikan?”
“kaa..”

Suasana hening sejenak, aku mulai merangkai kata untuk menyampaikan keadaan ibu, dengan penuh hati-hati, dan berlinang air mataku. Aku sampaikan.

“ade... ada apa sayang? Katakan saja? Kenapa kamu menangis?”

Hanya isakan tangisku yang terdengar, aku tahu pasti kaka bingung dengan mendengar ku menangis. Tapi sepertinya ta mampu ku bendung air mata ini, air mata penuh kesedihan.

“ibuu ka, ibu..”

“ibu kenapa de?”tanya kakaku keras

“ibu sakit keras ka, sudah sebulan”

Terasa beban ini turun, setelah aku menceritakan keadaan ibu, isakan tangis dari kakaku terdengar keras, begitupun denganku. Tak sanggupku ingat keadaan ibuku tercinta. Begitupun dengan kakaku, mungkin membayangkan ibu. Yang sudah lama tak bertemu.
 
“de....”panggil kakaku dengan lemah

“iya ka,”

“kenapa kamu baru kabarin kaka?”

“maafkan aku ka, ibu melarangku, untuk menyampaikan hal ini”

“ya Allah, ibu...”

Ibu mulai tergerak dari tidurnya, mungkin merasa brisik dengan isakan tangisku.

“ka.. ibu bangun, kaka cepat kesini yah, ibu  butuh kaka” dengan suara lemah

“iya sayang, sekarang kaka ke situ”

Telpon mati tanpa salam, karena aku terburu-buru menutup telpon. Karena ku lihat ibu sudah terbangun dan memandangiku.

“kamu telpon siapa nak?” tanya ibu lemah

“tadi..itu bu..” 

Aku bingung mau menjawab apa, apa aku rela membohongi ibu. Tapi kalau aku jujur aku takut ibu tambah sakit. 

“tadi, temanku bu, tanya keadaan ibu. Katanya mau jenguk kemari”

“emang temanmu siapa nak? Kok tahu ibu sakit?”

“ Mas Rama bu, yang dulu sering main ke rumah”

Sedikit lega dengan jawabanku, maafkan aku bu, aku berbohong. Tapi aku rasa, inilah yang terbaik. Mas Rama memang mau menjenguk ibu, nanti siang.

Setengah sadar ibu memintaku membelikan bubur ayam yang biasa jadi langganan ibu di waktu sehat dulu. Aku tersentak kaget, ngga biasanya, ibu minta bubur ayam disaat sakit begini. Ada apa sebenarnya. Terlebih ibu setengah sadar antara tidur dan bangun.

Tepak pukul 13.00, aku pergi sendiri ke warung bubur ayam, dan membeli satu porsi makan tanpa kecap, tanpa sambal pula untuk ibu. Di perjalanan pulang, Mas Rama datang dengan mobil sedannya menghampiriku yang menunggu angkot.

“de, kamu dari mana? Ibu mana?”

“ibu masih di RS mas, ade beli bubur ayam. Ibu minta bubur”

“oh, ya sudah ayo cepat naik, pasti ibu menunggumu”

Perjalanan dengan mas Rama tidaklah mengecewakan, kami datang tepat waktu. Ketika kami masuk ke kamar inap ibu, ibu sudah tidak ada.

“mas, ibu mas, dimana mas?” tanyaku cemas

“sabar de, mari kita tanya suster,!”

Kami mencari, kesana kemari. Dimana ibu berada. Dengan bercucuran air mata ini, aku kelilingi RS. Sungguh pikiranku kemana-mana, aku takut terjadi apa-apa dengan ibu.

“suster..suster” 

“pasien kamar A5 dipindahkan dimana yah?” tanyaku

“wah, saya tidak tahu mba, memangnya tidak ada di kamarnya?” jawab suster 

Dengan perasaan cemas, tegang, takut, sedih dan lain sebagainya. Aku jatuhkan tubuh ini, yang lemah. Aku menangis dengan penuh misteri. Mas Rama yang masih setia di sampingku mengangkat tubuh kurus ini, dan memeluk erat. 

“de, sabar sayang. Masih ada mas di sini, nanti mas bantu mencari ibumu yah”

“makasih mas, tapi kita mencari dimana lagi mas, aku bingung”

Dengan isakan tangisku, sembari kami pergi ke kamar ibu yang kosong tanpa orang. Dengan selimut yang berantakan, dengan bantal yang masih rapi di tempatnya.

Aku jatuhkan tubuh ini, ku peluk bantal ibuku. Apa yang harus aku katakan kekakaku nanti. Aku bersalah telah membiarkan ibu sendiri. Ketika tubuhku menyentuh kelantai kamar, ku lihat bercak merah yang mengalir dari pintu kamar mandi yang tertutup.

“mas, itu darah siapa mas?”

Dengan kaget, aku berdiri, dan berjalan perlahan menuju pintu kamar mandi. Ku buka pelan-pelan pintu kamar mandi itu, dan terlihat ibu tergeletak tak berdaya. 

“ibuuuuu...............”

Dengan mengumpulkan kekuatanku, ku gendong ibu, dan dibantu mas Rama membawa ibu ke dokter. Tanpa menghentikan air mata ini, tak terasa sudah sampai juga di ruang UGD, kami menunggu kabar ibu.

“dokter, lakukan yang terbaik untuk ibuku”

Aku terus berdoa, tanpa sadar. Sudah pukul 19.00, waktunya shalat isya, aku pergi ke mushala RS dengan mas Rama, aku tinggalkan ibuku di ruang UGD, dengan dokter, aku serahkan ibu ke dokter.

Ketika sampai di mushala, aku merasakan perbedaan, kenapa mushalanya ramai sekali. Ada apa sebenarnya? 

“mas, kok ramai sekali mushalanya?”

“de, besok bulan ramadhan. Orang-orang disini akan melaksanakan shalat teraweh berjamaah, mas kira ade sudah tahu”

Tanpa disadari air mata ini mengalir begitu derasnya, teringat keadaan ibu yang semakin parah. Dan teringat hal-hal indah setahun yang lalu, saat ibu masih sehat. Bisa melaksanakan ibadah ramadhan bersama, penuh kehangatan. Tapi tidak untuk sekarang. Kesedihan ini, memuncak saat terdengar adzan berkumandang.

Tak bisa ku terbangun, dari jatuhnya tubuhku diteras mushala RS ini, ku sadari kebahagiaan tidaklah selamanya. Allah memberikan kebahagiaan dan kesedihan tidaklah selamanya. Dan aku kuatkan diri ini dengan mengingat Allah.

“de, kita mau shalat teraweh dulu atau bagaimana?”

“mas, ibu mas. Sepertinya ade harus menunggunya. Mas shalat dulu saja!”

ngga de, mas akan selalu disampingmu. Nanti kita shalat berjamaah saja usai ibu sadar”

Kami kembali ke ruang tunggu, dimana ibu dirawat, 20 menit berlalu. Dokter belum juga keluar, entah apa yang sedang terjadi di dalam. Ingin rasanya ku masuk melihat kondisi ibu.

“dee.....” 

Ada yang memanggilku, dan terdengar suara sepatu berlarian. Ternyata kakaku . Dia datang bersama anak dan suaminya. Langsung ku peluk dia, tak kulepaskan, hingga ku terjatuh lagi. Lemah sekali tubuh ini. Mas Rama langsung menggendongku, merebahkanku di kursi tempat tunggu kami. Tidak lama, aku terbangun. Dan ku ceritakan semuanya kekakaku.

“ka, maafkan aku ya. Ibu sakit kanker rahim sudah stadium 4, baru ketahuan sebulan yang lalu. Sudah sebulan kami di RS ka, aku seorang diri mengurusi ibu. Mas rama yang sering menemaniku di sini. Kata dokter ibu tidak bisa diobati lagi ka, penyakitnya sudah parah. Ibu sudah tidak memiliki semangat hidup ka,”

Dengan isakan tangisku, mengheningkan susana haru ini. Kakaku berkali kali mencium keningku. Dia merasa bersalah, tidak menjenguk ibu, dan sibuk dengan pekerjaannya. Sampai-sampai ibu melarangku untuk memberi tahunya.

“de, kita harus sabar sayang. Ini cobaan untuk kita. Kaka minta maaf yah, tidak ada selama ini, kamu tidak memberi kabar apapun ke kaka. Kaka juga salah, tidak bertanya tentang kabar ibu dan kamu. Kaka sekali lagi minta maaf. Hal yang harus kita lakukan adalah mendoakan ibu, semoga ibu bisa sehat kembali dan menunaikan ibadah puasa bersama kami lagi. Kaka janji, kaka akan menjaga ibu, kaka akan pindah rumah bersama ibu”.

Janji kakaku begitu dari dalam, sejam sudah berlalu, apa yang terjadi, dokter belum juga keluar. Dan akhirnya dari penantian ini, dokter keluar dengan muka pucat. Dan mengatakan kalau ibu kritis.

Suasana haru semakin menjadi, kami semua masuk ke kamar. Dan satu persatu memeluk tubuh lemah ibu, yang pucat nan tua itu. Air mata kami, membahasahi tubuh ibu, sesekali kami melihat mata ibu, mengeluarkan air mata.
 
Kami menunggu ibu sadar, berjam-jam kami saling bergantian menjaga ibu. 7 jam kemudian, saat jadwalku menunggu ibu, ibu membuka mata, dan meraih tanganku dan berkata.

“nak, kenapa kamu katakan kepada kakamu, apa kamu ngga sayang dengan ibu? Ibu sudah bilang jangan katakan keadaan ini kekakamu” kata ibu lemah dengan terbata-bata

Aku tak bisa menjawab, ku bangunkan kaka, mas Rama, keponakanku dan kaka iparku. Untuk melihat, kalau ibu sudah sadar. Satu persatu meminta maaf.

Tepat pukul 04.00, dimana waktunya kami makan sahur, ibu masih membuka matanya untuk kami. Begitupun kami, masih setia menunggu ibu dengan tulus. Tanpa terlintas dibenakku, ibu mulai menggerakan bibirnya, sepertinya ingin mengatakan sesuatu.

“anak-anak ku, sudah waktunya makan sahur. Kalian besok puasa kan? Maafkan ibu sayang, ibu tidak bisa bersama kalian di ramadhan ini.” 

Dengan suara lemah itu, ibu sembari meneteskan air matanya, mendengar itu serentak kami pun menangis dan terisak-isak. Aku takut kehilangan ibu, begitupun kakaku.

“ibu ngomong apa bu? Mala disini untuk makan sahur bareng ibu. Ibu kenapa  ngomong seperti itu?”

Semenit kemudian, badan ibu tegang-tegang dan semakin kaku. Aku memencet tombol darurat yang ada didinding tempok kamar ibu. Dokter segera datang dan memeriksa ibu. Namun sepertinya, ibu tidak bisa ditolong lagi.

“maafkan kami mba, ibu anda sudah..”

“sudah apa dokter?”tanyaku dengan nada keras

“sudah meninggal mba, maaf saya permisi”

Ibuku meninggal, disaat ramadhan tiba. Sepertinya hatiku telah hancur, ibu ku tercinta ini meninggalkanku untuk selama-lamanya. Kenangan indah menjadi cerita kami. 

Sepertinya RS ini, hanya terdengar tangisanku dengan kakaku. Menangis menjadi-jadi. Ibu telah pergi, dan aku belum sempat membahagiakannya. Hanya doa yang bisa kami panjatkan.

“ya Allah, terimalah ibuku di sisi-Mu! Di bulan suci ramadhan ini, ibu bersama-Mu”


Tag : cerpen, Rahma
0 Komentar untuk "Ibuku Pergi Di Saat Ramadhan Tiba"

Back To Top