Bernyanyi ditengah hutan dan ditemani bulan dan bintang, dan dihangatkan oleh api unggun, sungguh tidaklah terlupakan. Di sebuah tenda yang teramat berantakan, penuh dengan berbagai perlengkapan pribadi, perlengkapan milik bersama dan masih banyak barang lainnya.
Keramaian masih saja menyelimuti malam itu, aku sandarkan pada pohon kelapa sawit yang saat itu ada di depan tendaku, sebuah perkemahan yang luar biasa. Sebuah penghormatan bagiku, bisa diizinkan mengikuti perkemahan nasional, yang pesertanyapun tidak hanya dari satu pulau, tapi dari semua penjuru Indonesia, dari sabang sampai merauke kumpul menjadi satu dengan visi, misi yang sama.
“Mboke.., kamu itu lagi kasmaran sama siapa, dari tadi nyanyi terus”
Ada yang mengagetkanku ternyata, dia Bokor. Seniorku, dan aku sering memanggilnya mba Bokor. Sebuah nama yang aneh bukan? Semua itu ada kenangannya loh, aku saja dipanggil Mboke. Ada kenangannya pula tentunya.
“iya mba Bokor, aku lagi kangen sama orang itu..”
“hayoloh, udah kecantol sama siapa? Dan orang mana tuh”
“banyak mba, dari Sumut, Banten, Aceh juga ada..”
“aduh, Mboke, kamu iniyah. Satu saja lah!”
“ah kurang banyak..hahaha”
Canda tawa tergambarkan dari lesung pipi teman-temanku, kami berkumpul. Karena kalau pagi-sore kami sibuk masing-masing, sesuai dengan tugasnya. Satu kelebihan kami, kerukunan tergambarkan kalau kami sedang bercanda. Iya lah pasti,
Dan itu berakhir, ketika ketua kami menyuruh kami untuk secepatnya tidur, panggil saja dia mba May.
“ndo.. tidurlah sudah malam, besok masih banyak kegiatan yang harus dilakukan!”
“iya mba..”
Kami serentak tidur, dan tidaklah terlalu sempit tenda kami. Dengan sepuluh orang ini cukup untuk kami berbaring dan menutup mata sementara waktu. Untung aku kurus, mba Bokor gemuk, dan masih ada beberapa yang menang dibody, sehingga yang jatahnya satu tempat tidur ukuran seperti tubuhku, malah mereka ada yang dapat dua jatah. Bisa dibayangkan bukan?
Tapi semua itu, tidak menutup kemungkinan kami tidak tidur. Dalam keadaan apapun aku bisa tidur, sekalipun harus tidur depan tenda, beralaskan rumput hijau dihutan, dan beratapkan langit.
“di tengah-tengah hutan dibawah langit biru...”
Terdengar lagu yang menyenangkan itu, membangunkanku dari tidur yang singkat. Mulai bergegas dan aku bangunkan temanku Fiki,
“Fiki-Fiki bangun, ayo kita ke kamar mandi, sudah pagi!”
“iya..”
Dengan nada lemahnya mengantarkan dia bangun dari tidurnya, kemudian aku bangunkan yang lain pula. Tapi ku rasa tidak perlu sekarang lah, nanti saja.
“Mboke, Aku ikut, tungguin!”
“iya mba,”
Kami pun sedikit lama menunggu mba Indah, kami bertiga mandi, wudhu dan melaksanakan shalat subuh, di atas tikar yang terpasang di luar tenda.
Mentari mulai menyinarkan sinarnya, namun masih ada yang terlelap tidur. Dan terdengar suara,
“hoooo... ehm..heeee.......”
Suara apa itu, ternyata ada yang mendengkur (ngorok dalam bahasa Jawa). Sedikit kaget memang, padahal sudah ramai banyak teman-teman yang mulai aktifitas.
“mba Bokor, bangun mba, udah siang tahu!!”
“ehm....”
“aduh, mba bangun!!”
Aku tutup hidung peseknya, dan diapun merasa sesak nafas. Dan terbangunlah sudah,
“hahahahhahaa”
“aduh kasihan Mboke,”
Lela salah seorang temanku membela mba Bokor,
Teman-temanpun saling menatap dan tertawa, lucu memang. Tapi bukan lelucon loh.
Kami mulai beraktifitas dan selama tiga hari ini, aku, mba Bokor, mba Indah, Mba May, Fiki dan Lela yang selalu masak di dapur. Entah itu masak makanan buat sarapan, makan siang, dan makan sore. Semua itu masak bukan untuk kami saja, namun untuk teman kami yang putra juga.
Setiap pagi, aku dan Fiki selalu bangun awal. Kami mulai mencuci peralatan masak, mengambil air, meracik masakan, dan memasaknya. Sungguh hal yang membosankan, pekerjaan yang seperti ini. Namun jangan salah, kami selalu kompak, kami sering disebut orang belakang (wong pawon dalam bahasa Jawa).
“mba Indah, tolong sayurnya donk sini!”
“iya Mboke. Ini,”
“makasih mba Cantik, hehehe”
Suasana dapur panas karena kompor menyala, namun jangan salah. Kami berenam mampu mendinginkan loh, sehingga menjadi hangat dan sangat hangat. Terlebih dengan suaraku yang super merdu dan mengganggu, semakin meramaikan suasana. Masakan cepat tersaji dan siap untuk disantap.
“indah yang kurasakan
saat aku bertemu denganmucinta yang kini adatlah bersemi di dalam jiwakini cerita yang adaternyata tak sebatas patok tendasemoga kan tetap terjagakisah asmara tunas kelapa...”
“asyeek... lanjut!!”
Mba Bokor melanjutkan lagu “asmara tunas kelapa” itu, sungguh menyenangkan bukan?
Sehabis itu aku bereskan tempat makan, membersihkan sekitar tenda, dan merapikan jemuran baju-baju kami. Sedikit ada yang tidak seimbang bukan? Dimana yang empat? Biarlah mereka bahagia dengan kegiatan mereka, pergi kesana kemari mencari teman baru. Tidak peduli tenda, tidak peduli dapur.
“mba May, aku sebel tahu sama mereka!”
“ya jangan! Mereka juga teman kita kan?”
“iya juga sih, tapi mereka ngga peka banget sama keadaan selama ini, mereka banyak nganggurnya dari pada kerjanya!”
Aku paling emosional diantara teman-teman. Tidaklah mengherankan, mereka sudah paham dengan sifatku yang satu ini.
“iya Mboke, aku juga sebel. Mereka mau enaknya saja,”
Tiba-tiba Fiki melanjutkan, sepertinya dia juga membenci mereka. Benci bukan karena merekanya, tapi karena sifat mereka yang mau enaknya saja. Tidak lama kemudian, setelah semua sudah beres, kami melanjutkan kegiatan perkemahan nasional, sesuai dengan tugas masing-masing. Waktu itu kegiatan wisata. Ini adalah jatah wisata kami, aku, fiki, mas Ripan dan mas Abi. Perjalanan wisata kurang lebih selama satu jam, kami bareng sama teman-teman aceh. Sangat menyenangkan, bisa kenal dengan kak Dara, kak Andi. Mereka diciptakan untuk mengisi kekosongan selama perjalanan kami. Banyak canda dan tawa, dan perkenalan ini berlanjut sampai sekarang ternyata.
Tidak lama wisata kami, aku kembali ketenda, dan mulai dengan aktifitas dibelakang,
“Mboke, tolong ambilkan air dong! Mau masak air nih”
Mba Indah minta tolong ternyata, terasa lelah. Namun aku tidak boleh mengeluh. Aku langsung mengambil air.
“siap mbaku sayang, hahaha”
Sempat terlintas tawa, sesudah aku ambil air. Waktunya kami masak untuk makan sore. Sebenarnya jadwal masak sudah dibentuk. Namun faktor ke tidak sadaran dari masing-masing orang kurang. Hingga jadwal terabaikan, dan hanya mengandalkan kepekaan beberapa orang saja, termasuk aku.
“mba Bokor ambilkan cabai itu mba!”
“iya Mboke, eh ambilkan bawang itu samping kanan kamu!”
“ini mba,”
Setelah beberapa menit, hidung mulai menangkap bau yang tidak biasanya, aku pahami bau apa ini,
“aduh bau gosong Mboke,”
Ketika mba Bokor, ngomong seperti itu. Aku baru sadar kalau bau yang tadi aku hirup iu adalah bau gosong. Aku kaget ternyata nasi nya gosong, aku yang salah. Airnya kurang banyak, dan nyala kompornya terlalu besar. Jadinya begini. Aku harus bagiamana, perasaanku tidaklah enak, terlebih nasi sudah ditunggu teman-teman, karena mereka mulai lapar.
Tiba-tiba ada yang datang, dengan pakaian pramuka masih melekat rapi ditubuhnya, dan memegang hape ditangan kanannya, sembari tangannya masuk ke saku celana miliknya, sembari berkata dengan lagaknya yang sok,
“aduh,, kok bau gosong sih, “
Dengan pandangannya, tidaklah mengenakan, sempat terlintas pikiranku untuk menanggapinya. Tapi sepertinya tidak ada gunanya.
“kalau masak yang bener dong, bisa masak apa ngga sih?”
“heh, kamu mba. Jangan pernah kamu berpikir aku ngga bisa masak. Ini memang kesalahanku. Sudah menggosongkan nasi ini. Tapi apa kamu berpikir kemana saja kamu selama ini? Bisanya cuma protes, bergerak dong, gerak!!”
“sudah.. sudahlah! Lupakan, nasi nya kami makan nanti,”
Mba May menengahi, dan aku rasa kesal. Hatiku seakan-akan membara. Ingin rasanya, aku lembarkan nasi gosong itu ke muka nya, yang berkaca mata dan hidung pesek itu. Biar tau rasa, sudah kulitnya gosong ditambah lemparan nasi gosong, bisa dibayangkan bukan? Aku sadar aku juga pesek, tapi menyenangkan bukan?
Membela diri sedikit tidak apalah,
“Fiki-Fiki, aku sebel tahu, kenapa ada orang seperti itu yah?”
“iya Mboke, sabar yah!, jadi orang kuatlah! Orang kuat itu karena bisa menahan emosinya!”
“kamu bener, iya deh aku ngga mau berurusan lagi sama dia”
“jangan begitu juga Mboke! Hidup rukunlah!”
Mba May menyambung pembicaraan kami berdua, dia selaku ketua merasa anak buahnya seperti perang dunia ke dua atau bahkan perang dunia ke tiga yah?
“ayo makan makan!!” mba Bokor membawa mangkok-mangkok penuh sayur dan lauk pauk
Dan mba Indah menyusul dengan membawa nasi gosong, yang aku masak tadi.
“ini nasinya! Dengan hiasan cabai dan wortel diatasnya. Jadi menarik bukan?”
Aku juga kaget, kenapa nasi gosongnya jadi menarik begitu. Tampilannya yang rapi, dan nasi yang hitam karena gosong itu, ditata rapi dipinggir-pinggir, serasa seperti sengaja digosongkan untuk membuat hiasan begitu.
Namun bau nasi gosongnya masih tetap ada, dan awet kemana-kemana, sampai ada tetangga sebelah bertanya,
“nasinya gosong yah?”
“iya kak, kenapa? Mau makan?” aku yang menjawabnya
“wah enak tahu, boleh ikut makan?”
Sedikit aku heran, ini orang mau ikut makan, apa cuma mau ngledek? Tapi aku harus tetap berpikir positif
“mari kak, mari!”
Kakak tadi pun duduk berkumpul bersama kami, dan datang lagi beberapa rekan dari pulau Sumatra,
“wah.. lagi makan-makan, boleh gabung ngga ka?”
“dengan denang hati kakak”
Aku berbisik ke mba Indah, karena aku merasa keheranan. Ada apa misteri dibalik nasi gosong. Sampai membawa sinyal-sinyal kakak-kakak yang lain untuk ikut makan bersama kami.
“mba Indah, aduh,,gimana ini?”
“udah jangan khawatir, kita jangan makan dulu, takut nasinya kurang!”
“iya mba,”
Kerelaan yang begitu besar, padahal sedikit lapar. Namun apa boleh buat, menyuguh tamu lebih baik bukan? Dan pahalanya pasti akan besar, menambah rejeki pula.
Dengan nasi gosong itu, masuk juga ke perut mereka, bagaimana tidak, kalau sudah lapar apapun masuk dan nasi gosong sepertinya makanan faforit mereka, sedikit aneh juga yah? Padahal sebelumnya, sempat terlintas dibenakku, untuk membuang nasi gosong itu. Karena pasti orang-orang tidak bertanggungjawab akan mencela nasi gosong itu. Tapi ternyata justru lain dengan kecemasanku. Membawa berkah pula. Menambah persahabatan dengan orang lain, dan menambah kenalan tentunya.
“masakannya enak kak,”
Kata salah satu tamu kami, dan kami pun tersenyum dengan lebarnya. Bukan 7 cm ke kanan dan 7 cm ke kiri lagi, tapi 10 cm ke kanan 10 cm ke kiri, dan tahan 10 detik. Merasa heran bukan?
Di sisi lain aku harus kuat dengan keadaan ini, kebencian yang merasuk di jiwaku, harus bisa aku sembunyikan. Jangan sampai berujung sampai nanti. Tidak baik juga kalau menyimpan kebencian, hingga balas dendam.
Orang belakang justru selalu terdepan, bukan malah terbelakang. Jangan takut menjadi orang belakang, suatu saat akan ada peristiwa yang istimewa dan tak akan terlupakan. Kesabaran dan sebuah ketulusan yang akan mengantarkan pada hal istimewa itu.
0 Komentar untuk "Orang Belakang Bukan Berarti Terbelakang"