Kawah Putih Tinggi Raja
Kabupaten Simalungun, SUMUT
“hei kalian yang masih muda! Lihatlah betapa indahnya alam ini. Keluar jelajahi bumi ibu pertiwi, jangan engkau habiskan waktu mu termenung, menggalau apalagi meratapi hidup. Itu semua sia-sia bahkan tak berguna. Pergilah! Bawa pulang semangatmu! Bawa pulang pengalaman mu!” status facebook yang di likes ribuan orang itu akhirnya menggugah semangat badrun untuk menjelajah Indonesia.
“Hanif! Hanif! Hanif!”Teriak Badrun di depan laptopnya. Di ujung sana hanif yang tengah melamun memadang langit- langit rumah. Dengar tak menjawab. Dua sahabat yang telah lama satu atap itu memiliki watak yang bertolak belakang. Satu konyol satu pendiam, satu suka travelling, satunya suka diam di rumah. Walau begitu mereka tetap saja sahabat yang saling melengkapi.
“Hey jiwa muda, aku lihat dari tadi kau melamun terus, apa yang kau fikirkan ni? Sudahlah, sejak putus dengan susi kau terus saja melamun. mau jadi apa kau kawan? Kalau kau seperti ini nanti bisa roboh juga asbes itu kau pandangi. Jangan salahkan aku kalau atap itu jatuh cinta padamu, pandangi aja terus “. Ketawa badrun memekakan ruangan 3 x 5 meter itu.
“Sudahlah jangan kau fikirkan! Mari ikut dengan ku, biar ku tunjukkan padamu hal yang akan membuatmu murka karena baru kau ketahui sekarang kawan!” badrun mulai mengemasi perlengkapan di tas gunung hitamnya.
***
Badrun anak rantau yang sangat gemar bereksperimen, tahan banting dan tak gentar terhadap pahitnya hidup, gayanya yang sangat sederhana bahkan kalau boleh jujur, sebenarnya dia tidak memiliki gaya sedikit pun, kaos oblong hitam dan celana goyang tahun 90-an itulah khasnya anak Bengkulu ini. Anak satu – satunya di keluarga tetapi tidak bernasib baik karena ayahnya yang kaya raya telah menceraikan ibunya. Tak lama setelah itu ibunya meninggal karena sakit kanker. Bersama istri barunya, ayahnya tak pernah kunjung datang kekediaman badrun yang di asuh neneknya. Kini, di usia ke 23-nya, pemuda dewasa tangguh ini telah meniti karirnya dengan sangat rapih. Berkat usaha serta do’a dari neneknya ia bisa kuliah di pulau jawa. Walau harus mati-matian bekerja mencukupi kebutuhan, ia tetap semangat menjalani hidup tanpa mengeluh.
Tidak jauh berbeda dengan Badrun. Hanif. Anak ke 5 dari 10 bersaudara yang kesemua juga merantau, tinggal 2 adik kecil yang masih menetap di pedalaman teluk kuantan, Riau. Hanif juga sosok pemuda dengan semangat yang luar biasa. Bahkan ia telah berazam dalam hatinya, akan ku buktikan bahwa bumi ini hanyalah kecil,dan dengan mudah bisa ku taklukkan, karena jiwa inilah yang besar, lebih besar dari bumi ini, katanya saat malam pertama satu kos dengan badrun. Tetapi sejak semester dua lalu, hanif jatuh cinta dengan susi anak dosen di kampusnya itu. Ditolak mentah-mentah. Wanita dengan beribu kemewahan manalah mau dengan anak usil, kumuh dan juga hitam itu. Semangat utama hanif telah padam sejak itu. Ia menjadi lelaki pelamun dan pemalas. Jangankan membuktikan bumi ini kecil, mengatasi hatinya yang patah pun ia tak sanggup. Anak muda memang sukanya berkhayal saat ini. Sedikit cobaan datang, semuanya pun musnah. Benar-benar payah.
Hanif dan Badrun sudah saling mengenal dari 2 tahun, kini di semester ganjil mereka harus alfa study. Badrun dan hanif tersendat biaya. Keputusan merantau di pelosok Sumatra Utara untuk 1 semester adalah pilihan yang di anggap tepat, memang orang yang bersungguh – sungguh tak akan di sia-siakan oleh sang pencipta. Rezeki tetaplah rezeki. Badrun di terima di perusahaan ternama untuk melakukan project yang cukup penting. Sebuah misi yang menjanjikan gajinya pun pengalamannya. Mandat dari perusahaan baru-Menjelajah bumi pertiwi dimulai dari pulau Sumatera.
Setelah lebih dari 4 jam naik motor, sesekali berjalan, bahkan mengangkat motor yang mereka bawa, jalan bagitu curam dan terjal. Terbanting, tersungkur adalah hal yang biasa sejak menit ke sepuluh mereka blusukan di hutan belantara itu. Minum pun sudah kosong, mana ada warung di tengah hutan belanatara seperti ini. suara deburan air pun tak terdengar. Hanya sesekali suara monyet, babi atau hewan lainnya saja yang terdengar.
Allahu akbar! Allahu akbar..
Suara adzan terdengar sangat jauh. Pertanda di depan kami akan ada kampung. Senang bukan kepalang, setelah melewati jalan yang terjal, licin, menanjak menurun dan menyibakkan tumbuhan liar memberikan kesan capek tersendiri. Suara itu kini makin dekat dengan kami. Bahlkan atap mesjid pun sudah terlihat. Dengan senyum sumringah kami segera berlari barisan jamaah yang full dengan anak – anak.
Masih dalam kata normal jika musholla itu ramai ketika imam membaca kalimat Allah, anak yang menangis, tertawa, lari kejar-kejaran dan juga ada yang mengupil, merupakan hal yang normal untuk mereka karena tak di awasi orang tuanya. Sesekali imam yang berkopiah putih itu terdiam untuk waktu yang cukup lama, mengumpulkan energi untuk melanjutkan bacaannya. Walau begitu, Ia tetap tersenyum melihat kami. Bersalaman hingga menepuk pundak kedua pemuda itu. Sambil beristirahat, hanif dan badrun melakukan sunah yang biasa mereka lakukan. Ada yang zikir, sholat sunnah dan ada yang baca qur’an.
‘Audzubillahiminas syaithon nirrojim, Bismillahirrahmanirrahim,…. “suara merdu badrun membuat hanif merinding dan iangat akan azab kematian.
Inilah Alqur’an yang dahsyat tidak ada tandingannya, sehingga tak ada seorang manusia pun yang mampu membuatnya. Beberapa ayat badrun membaca alqur’an yang selalu ia bawa kemana pun pergi. Hanif mendengarkan dengan seksama.
Di sudut lain musholla, imam yang menguntit gerak gerik pemuda asing itu juga ikut terkesan, teringat seseorang yang selalu membacakan surah Ar-rahman kepadanya. Teringat sosok istri yang telah lama meninggalkanya. Tak tahu ia akan di pertemukan kembali atau tidak. Pak imam rindu dengan istrinya.
“Nak.. dari mana sampean? Sudah makan belum? Kebetulan bapak di undang wirid di depan musholla itu, yok ikut kalau mau”sambil menunjuk rumah yang mulai ramai di kunjungi warga itu, pak imam pun telah siap untuk melangkahkan kakinya keluar musholla.
“Iya pak, ayok pak” jawab hanif enggan mengatakan tidak demi melihat senyum bapak itu, ia pun bergegas berdiri. Di sampingnya, badrun telah menutup al-qur’annya. Siap untuk ikut, wirid yang sudah lama ia tak ikut bergabung. Walau tak tahu nama tempat itu, bahkan tak kenal dengan bapak yang mengajak mereka, kedua pemuda itu akan sangat mereka berdosa untuk menolak kegiatan yang baik itu. Pun perut mereka yang sudah keroncongan jadi terselamatkan.
***
“Nak.. nak.. bangun” pak imam yang telah rapi membangunkan hanif dan badrun. Malam itu mereka menginap di rumah pak Gitok yang baru ia kenal tadi malam. Bapak duda yang tinggal sendirian itu dengan ramah menawarkan rumahnya untuk di tempati.
Selesai sholat subuh, pak Gitok menyuruh mereka masak sarapan pagi. Hanif yang memang jago masak langsung ambil bagian dalam hal ini, beda pula dengan hanif yang sudah menangis sejak tadi karena menggiling cahe. Gilingan cabe memang mahkul yang paling hebat, lelaki setangguh badrun pun nangis di buatnya.
“ya ela, gitu aja kau nangis bro, anak cengeng dasar!” hanif yang mengaduk – aduk nasi terlihat semangat membully sahabatnya itu.
“ iya nih nif, seumur – umur giling cabe gak pernah satu waktu pun aku yang gak nangis, nih gilingan jahat baget yak?” mengelap-elap air matanya , mulutnya pun ikut monyong.
Makan telah selesai, mandi pun telah di lakukan, saat mereka pamit menuju syurga yang tersembunyi di daerah itu. “Pak.. kami pamit pergi dulu ya pak? Mohon do’a supaya kami selamat ya pak” seru badrun setelah makan nasi goreng 2 porsi”.
“Iya nak, kalau ada waktu lagi maen lah kesini, jangan sungkan dan ragu. Anggaplah bapak sebagai bapak kalian nak, kalau ada apa – apa datang saja kesini.”seru pak imam mesjid yang mulai sedih akan kepergian anak angkat singkatnya itu.
***
Kini mereka telah jalan kaki. Matahari kini tengah garang memancarkan sinarnya, sangat panas. Bau busuk yang menusuk pun menjadi cobaan selanjutnya.
“Hei Badrun! Kenapa kau ini? Jalan mu kayak orang kesetanan aja, aku capek lah! kita sudah jalan 2 jam, apa kau tak lihat sandal ku sudah putus begini? Hah? “hanif membuang sendal nya,sebal.
“Tenang lah kau kawan, sandal kau yang putus itu akan ku ganti dengan nilai yang tidak ada tandingannya di dunia ini.” badrun berjalan lebih semangat lagi. Sudah di angka 360 derajat pun semangatnya badrun berbicara tetap saja hanif menyumpah –nyumpah dalam hatinya.” Panas, jalan jelek kali gini, bauk busuk lagi, lengkapklah sudah! Hanif kini menyumpah pelan. Ia kini bernafas lewat mulutnya..
“Hanif.. jangan kau tutup hidungmu, nanti penghuni tempat ini akan marah karena dia fikir kau menghina tempat ini “ mereka kini telah berjalan kurang lebih satu jam lamanya, medan yang sangat terjalan dan licin, badrun saja sudah terjatuh 3 kali, padahal sudah pakai sepatu bot.
“Emang siapa penghuni tempat ini run?” tanya hanif penasaran.
Tak ada jawaban dari badrun ia malah memanggil hanif dan “menunjuk kearah sebrang kanan jalan.
“Subhanalllah..” hanif terhenyak melihat apa yang aku saksikan saat ini, benar- benar menakjubkan”.
“Inilah yang disebut dengan Tinggi Raja Hanif. Yaitu Danau Panas terluas yang ada di Indonesia. Airnya biru, tanahnya putih dan lihatlah air yang mendidih itu, sungguh keajaiban luar biasa bukan? Memang tak akan ada yang bisa menandingi Indonesia nif. Luar biasa. subhanaAllah. Nanti kamu akan lebih takjub lagi melihat danau lebih besar dari danau ini “seru Badrun yang semangatnya sudah di titik 360 derajat”.
“Kau tahu hanif! Lanjut mereka sambil mendekati danau yang berwarna biru itu. “konon, danau ini bisa terjadi karena murkanya orang- orang tua zaman dahulu. Dahulu tempat ini adalah tempat tinggal para raja – raja batak yang sangat gemar berladang dan bersawah. Karena mereka sangat sibuk berladang, demi mendapatkan tanaman yang melimpah ruah hasilnya, akhirnya mereka menitipkan anak- anak mereka kepada mertua atau orang tua yang tak bias lagi ke ladang, biasa anak – anak sangat rewel dan susah di atur di pastikan mereka akan mengganggu kerja mereka”. Badrun yang kini tengah memegang air bau busuk itu menggelidik kepanasan, di sebrang sana hanif sibuk memoto beberapa angel yang di rasa menarik untuk di foto.
“Singkat cerita” lanjut badrun. “Setelah berbulan - bulan merawat tanaman mereka dengan baik, hasilnya memang selalu menyenangkan. Melimpah ruah, tak cacat dikit pun, jangankan serangga, burung pun enggan mendarat di padi mereka, penjagaan sangat ketat. Dengan hasil yang banyak itu, sudah menjadi kebiasaan warga kampung untuk mengadakan pesta panen.” Sambil memberi isyarat kepada Hanif untuk melanjutkan perjalanan, cerita badrun makin seru untuk di dengar.
“Dan kau tau nif dimana mereka buat pesta?” tanpa jawaban dari hanif yang mengernyitkan keningnya, badrun langsung melanjutkan ceritanya. “Mereka melalukan itu di sawah nif, ibaratnya di situ mereka mengambil hasilnya, di situ jugalah mereka mempersembahkan rasa syukur mereka” badrun melompati becek berlumpur.
“ Nah, sialnya para leluhur mereka yang sudah tua, baik ibu, ayah, nenek maupun kakek mereka yang uda udzur dan susah jalan tidak bisa ikut pesta yang sangat mewah itu hanif jadi mereka memberi syarat saat pesta. Mereka haruslah jadi orang pertama yang makan pesta itu sebelum orang lain makan.” Sesekali badrun memukul pundak Hanif agar terkesan tidak memberi ceramah.
“Jadi, karena gak bisa pesta bersama di ladang, harus ada yang rela berjalan sekitar 3 jam ke desa tersebut. Yang mereka minta pun sepelenya sebenarnya, cuma hati anjing atau babi yang telah dimasak aja,” hanif yang mengangguk angguk sok tahu hanya bisa menyipitkan matanya.
“Kau tahu kenapa mereka minta hati anjing dan babi kawan?“badrun mulai konyol. Tentu saja badrun hanya bisa menggeleng. Di sampingnya, badrun tertawa.
“Apa nya yang kau makan hanif untuk menjawab pertanyaan itu saja kau tak tahu! Kata badrun bercanda. “Itu karena mereka sudah tua nif, jangan kan mengunyah, apalagi menggigit, orang gigi mereka udah rontok, gimana mau makan daging coba? pun perut mereka gak tahan lagi dengan daging. Mual, muntah, pusing banyak lah macam penyakit untuk orang tua. Kau taulah babi dan anjing itu banyak mengandung lemak yang berlebihan dan juga banyak penyakit lain nif. Makanya mereka hanya memilih hati, empuk dan nikmat rasanya”. Badrun mengerakkan lidah di bibirnya, seakan memperaktekkan gimana nikmatnya. Hanif di samping sudah mengernyitkan jidatnya, babi kan haram! Fikirnya.
“Setelah semua masak” lanjut barun. “sang raja memerintahkan pembantunya untuk mengantarkan hati anjing dan babi itu ke rumah orang tuanya, karena perjalanan yang cukup jauh, pembantu merasa lapar. Tuh pembantu memang gak tau amanah juga, dia cuil dikit dikit hati babi itu, kau taulah itu perjalanan panjang, sampai di rumah tinggal separonya. Tanpa merasa berdosa juga si pembantu langsung kasih ke orang tuanya raja itu, cobalah kau fikir nif, tega banget kan tu pembantu“ bibir monyong badrun membuat suasana menjadi lebih energik.
“ orang tua raja tentu saja murka. Memaki, menyumpah. Hati babi yang ia tunggu tinggal secuil gitu. Sedetik itu juga, orang tua raja itu berkomat kamit, air liurnya pun ikutan muncrat. Duar… duarrr… petir menyambar dengan angkuhnya.” Tangan badrun telah terbuka lebar, menyibakkan kesana sini.
“Dunia diguncang sedahsyat – dahsyat nya nif, tanah yang dulunya datar kini telah menjadi hamparan yang tak karuan bentuknya, disusul lagi dengan banjir besar, bukan main banjirnya, air banjir yang datang adalah air panas. Semuanya musnah, hancur lebur dan tinggallah Air panas ini di sebut Tinggi Raja.” Badrun manut-manut mengakhiri ceritanya.
“Kau bisa lihat sendiri kawan, tempat ini sungguh luar biasa. Kita harus berterimakasih kepada orang tua raja yang telah bersumpah waktu itu. Kalau ia tidak bersumpah pasti tempat ini tak akan ada kawan” Keduanya terpingkal-pingkal mendengar kesimpulan badrun. Di mulut memang tertawa karena badrun, di lubuk terdalam hanif, ia sangat senang dan memang menyesal tidak sejak dulu ia pergi ke tempat itu. Badrun bercerita panjang lebar tentang keindahan alam lainnya, di pulau lainnya yang masih di Indonesia. Hanif tergugah, lupa akan sakit hatinya, mereka kini telah membuat list perjalanan backpacker yang akan segera mereka lakukan.
“oke,, jadi tahun baru nanti kita akan ke Lombok ya? harus rajin – rajin nabung kita”. Badrun asal bengkulu kini lebih tepat dengan sebutan badrun batak, entah dari mana bahasanya terkontaminasi, yang jelas logatnya berubah sejak cerita raja batak itu.
0 Komentar untuk "Kawah PutihTinggi Raja"